Dosen Filsafat UNPAR Paparkan Pengaruh Teknologi terhadap Konsep Cinta

UNPAR.AC.ID, Bandung – Dalam episode kelima podcast Extension Course Filsafat hasil kerja sama antara Selasar Sunaryo Art Space dan Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR), tajuk “Love and the Technological Age” menjadi topik utama. Dengan narasumber Gorivana Ageza, S.S., M.Hum., seorang dosen filsafat UNPAR, diskusi yang diadakan di Bale Handap, Selasar Sunaryo Art Space, mengupas bagaimana cinta beradaptasi dengan teknologi yang terus berkembang. Acara ini dipandu oleh Qanissa Aghara sebagai host dan Afifah Fathiqa sebagai co-host.

Membuka diskusi, Gorivana Ageza menggarisbawahi, “Teknologi di era sekarang tidak hanya menjadi alat, tetapi juga memengaruhi konsep cinta yang ideal. Film Hollywood, misalnya, kerap menggambarkan cinta sebagai sesuatu yang romantis dan penuh perjuangan.” Ia mencontohkan adegan-adegan yang ikonik seperti dalam film Pretty Woman (1990), di mana cinta sering disajikan sebagai hal yang dramatik dan ideal.

Teknologi juga berfungsi sebagai jembatan bagi hubungan manusia. Gorivana menyatakan, “Lewat media sosial, kita bisa memelihara relasi baik dengan pasangan, keluarga, maupun teman. Bahkan, dating apps kini menjadi cara baru untuk menemukan pasangan.” Namun, ia juga mengingatkan, “Tidak semua orang nyaman menggunakan dating apps. Salut untuk mereka yang berani mencobanya, tetapi tetap dibutuhkan usaha untuk membangun koneksi yang bermakna.”

Dalam konteks ini, Gorivana menyoroti fenomena “relationship goals” yang marak di media sosial. “Teknologi memungkinkan kita untuk merekam dan menampilkan berbagai wajah cinta, dari yang positif hingga yang destruktif. Sayangnya, ini seringkali menciptakan ekspektasi yang tidak realistis,” ujarnya. Ia menambahkan, “Kita setiap hari dihadapkan pada berita yang menunjukkan spektrum cinta, termasuk kekerasan dalam hubungan seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).”

Afifah, salah satu host, menyinggung kecenderungan generasi muda yang semakin skeptis terhadap pernikahan. Gorivana menanggapi dengan berkata, “Ini paradoksal. Di satu sisi, generasi kita terpapar gambaran cinta romantis yang ideal. Di sisi lain, ada juga ketakutan terhadap risiko hubungan yang tidak sehat. Faktor ekonomi turut memperparah keraguan ini.”

Ia juga mengaitkan cinta di era teknologi dengan fenomena cinta transaksional. “Sebetulnya, cinta yang bersifat transaksional sudah ada sejak lama. Namun, di era teknologi, hal ini semakin terekspos. Kita harus hati-hati agar tidak hanya mengambil tanpa memberi,” tegas Gorivana.

Lebih jauh, Gorivana membahas bagaimana teknologi mengubah cara manusia membangun hubungan. “Dulu, cinta sering terjadi secara spontan, seperti istilah ‘love at first sight’. Namun, dengan dating apps, spontanitas itu digantikan oleh algoritma yang menyaring pilihan kita. Walau ini memperluas opsi, ada risiko ekspektasi yang tidak realistis,” paparnya.

Afifah kemudian bertanya mengenai dampak dari dating apps terhadap hubungan jangka panjang, terutama bagi mereka yang love language-nya adalah physical touch. Gorivana menjelaskan, “Teknologi memang membantu menjaga hubungan jarak jauh, tetapi tetap ada batasan. Manusia tetap butuh koneksi mendalam, meaningful conversation, dan kehadiran fisik untuk mempertahankan hubungan.”

Ia juga menggarisbawahi pentingnya usaha dalam hubungan, meski teknologi telah mempermudah pertemuan. “Teknologi hanyalah alat. Hubungan tetap membutuhkan kerja keras dan komitmen,” ujarnya. Menyinggung pemikiran Erich Fromm, Gorivana menekankan bahwa cinta adalah sesuatu yang harus diupayakan, bukan sekadar proses alami yang terjadi begitu saja.

Afifah dan Qanissa turut membahas keterkaitan teknologi dengan kapitalisme. Gorivana menjawab dengan refleksi mendalam, “Di era sekarang, cinta kita pun menjadi data. Algoritma di balik dating apps seringkali menentukan siapa yang kita temui, sehingga kebebasan kita dalam memilih pasangan sebenarnya tidak sepenuhnya bebas. Pada akhirnya, semua ini berujung pada akumulasi kapital bagi industri teknologi.”

Meski begitu, Gorivana tetap optimis terhadap cinta di era teknologi. “Cinta yang ideal tetaplah cinta yang membuat kita bertumbuh sebagai individu dan pasangan. Teknologi hanyalah jembatan, bukan solusi otomatis. Kita tetap perlu berupaya dan fokus pada hal-hal yang esensial dalam hubungan,” pungkasnya. (NAT-Humas UNPAR)

Berita Terkini

UNISBA Studi Banding ke UNPAR, Gali Struktur Organisasi dan Tata Kelola

UNISBA Studi Banding ke UNPAR, Gali Struktur Organisasi dan Tata Kelola

UNPAR.AC.ID, Bandung – Universitas Islam Bandung (UNISBA) melakukan studi banding ke Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR), Senin (10/2/2025). Melalui pertemuan yang dilakukan di Ruang Rapat Besar Rektorat UNPAR tersebut, tim UNISBA menggali lebih jauh bagaimana...

Kontak Media

Humas UNPAR

Kantor Sekretariat Rektorat (KSR), Universitas Katolik Parahyangan

Jln. Ciumbuleuit No. 94 Bandung 40141 Jawa Barat

Jan 30, 2025

X