UNPAR.AC.ID, Bandung – Menurut kompilasi catatan tahunan yang dilakukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) selama sepuluh tahun, ditemukan sebanyak 15 jenis kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan di Indonesia dan terdapat kesulitan untuk memperjuangkan penyelesaian kasus kekerasan seksual khususnya bagi korban perempuan.
“Kesulitan-kesulitan untuk mendorong keadilan dan pemulihan bagi korban itu letaknya ada pada jurang hukum itu sendiri,” kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani pada Webinar “Menyelami Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Implikasinya” Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (FH UNPAR) dan Vox Populi Institute (Point) Indonesia DPW Kota Bandung pada Sabtu (26/3/2022).
Andy mengatakan, secara substansinya, jurang hukum tersebut terdapat baik dari aspek bentuk-bentuk yang dipahami, definisi yang sebetulnya kaku, ataupun konteks yang dibahas sangat terbatas, termasuk hukum acara pidananya.
“Karena itulah Komnas Perempuan bersama jaringan membangun upaya pendokumentasian lebih lanjut selama hampir empat tahun sebelum akhirnya kemudian mendorong adanya Rancangan Undang-undang (RUU) yang sangat spesifik pada kekerasan seksual,” ujar Andy.
Dia menuturkan, kekerasan seksual meningkat hampir sebelas persen pada tahun 2021 dengan kasus yang paling banyak dilaporkan adalah kasus kekerasan di ruang personal.
“Kasusnya itu kita mendata hampir 9000 kasus hanya pada kurun waktu 2 tahun yaitu 2020-2021 dan jumlah terbesar ini terjadi di ranah personal, artinya sekali lagi pelaku sangat kenal dengan korban sebagaimana juga korban memiliki hubungan yang sangat erat dengan si pelaku,” tuturnya.
Dia juga mengatakan, kecenderungan lain yang ada di dalam kekerasan seksual ini adalah penggunaan media siber yang lonjakannya ke Komnas Perempuan hampir dua kali lipat pada tahun 2021.
“Penggunaan teknologi informasi yang begitu luar biasa di masa pandemi, maka kekerasan seksual berbasis gender di ruang siber ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih khusus,” kata Andy.
Dari 400 lebih peraturan daerah, 128 di antaranya menyatakan bahwa menggunakan konsep pelayanan terpadu pada penanganan kekerasan seksual. Dari 128 yang menggunakan konsep layanan terpadu tersebut, kurang dari tujuh persen yang belum tegas menyebutkan bahwa visum akan diberikan secara gratis.
“Hukum di nasionalnya belum ada, tidak heran jika kita melihat jurang penanganan kasusnya itu sangat besar dengan kasus-kasus yang bisa berakibat sangat fatal. Misalnya pencabutan nyawa sendiri, ataupun juga balas dendam, dan lain-lain,” kata Andy.
Untuk penguatan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), Komnas Perempuan memberikan masukan terkait pemulihan dan keadilan bagi korban kekerasan seksual di antaranya adalah; pencegahan, tindak pidana, sanksi pidana, hukum acara khusus, hak korban (pemulihan), dan pemantauan.
Selain itu, dosen FH UNPAR Dr. Niken Savitri, S.H., MCL. mengatakan, saat ini dapat dikatakan tidak ada aturan yang secara komprehensif mengatur kekerasan seksual.
“Bagaimana Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kita itu sangat berorientasi pada tersangka, terpidana, terdakwa, sehingga kita sebetulnya sudah lama sekali melupakan hak-hak korban. Nah di sini kita mencoba untuk memberikan fokus pada korban,” kata Niken.
Dia juga mengatakan, beberapa jenis atau tindak kekerasan seksual pun tidak dicantumkan pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
“Selain itu KUHP ini mengatur sesuatu secara tindak pidana umum, penanganannya juga umum, jadi rasanya agak sukar kalau kita mau menempelkan atau mencangkokkan tindak pidana kekerasan seksual ini di RKUHP,” katanya.
Sementara itu, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kppa) Ratna Susianawati mengatakan, jika pemerintah menyikapi RUU TPKS ini dengan serius.
“Keseriusan kami, kami buktikan dengan kami menyusun daftar inventarisasi masalah,” kata Ratna.
Dalam diskusi yang dilakukan secara virtual tersebut, hadir pula Diah Pitaloka, S.Sos, M.Si selaku Wakil Ketua Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). (RBF-Humkoler UNPAR)