UNPAR.AC.ID, Bandung – Dalam acara bertajuk “Agro-Techno-Preneur” yang diadakan di Ruang Audiovisual FISIP UNPAR pada Senin (27/11/2023), para pembicara membawa pandangan baru dan solusi inovatif mengenai masa depan ketahanan pangan dan teknologi pertanian di Indonesia. Talk show ini dipimpin oleh Azizah Fauzi, seorang peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS).
Nonie Kaban, Good Food for Cities Southeast Asia Regional Director Rikolto in Indonesia, memulai diskusi dengan memaparkan tantangan yang dihadapi petani kecil, yang merupakan produsen utama pangan dunia.
“Mereka menghadapi berbagai tantangan besar, termasuk kenaikan harga pangan yang mencapai 65 persen sejak pandemi,” ungkap Kaban.
Dengan serius, ia menambahkan, “Kami menggunakan pendekatan sistem pangan yang terintegrasi untuk mengatasi masalah ketidakamanan pangan, perubahan iklim, keanekaragaman hayati, dan ketimpangan ekonomi.”
Melanjutkan topik ini, Ir. Gin Gin Ginanjar, M.Eng., Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kota Bandung, berbagi perspektifnya tentang kondisi di Bandung.
“Kenyataannya, hampir 97 persen pangan di Kota Bandung diimpor. Ini menunjukkan ketergantungan yang tinggi terhadap impor dan menjadikan kota ini rentan terhadap tantangan ketahanan pangan,” kata Gin.
Dia kemudian menjelaskan upaya lokal, “Untuk mengatasi hal ini, kami telah mengembangkan inisiatif ‘Buruan Sae’, yang memanfaatkan lahan kecil di perkotaan untuk urban farming.”
Dari sudut pandang penelitian, Aditya Alta, Kepala Penelitian di CIPS, menghadirkan wawasan tentang proyeksi permintaan pangan Indonesia.
“Analisis kami menunjukkan tren yang menarik. Di satu sisi, konsumsi beras mungkin berkurang seiring meningkatnya pendapatan, sementara di sisi lain, permintaan akan protein hewani diperkirakan akan meningkat,” jelas Aditya, menyoroti dinamika yang kompleks dalam permintaan pangan.
Menyambung topik tersebut, Anthony Marwan, Lead Kebijakan Pijar Foundation, menekankan pentingnya inovasi dan bisnis dalam mendukung petani.
“Untuk mendorong pertanian, kita perlu inovasi dan model bisnis yang memperkuat petani kecil. Pangan kita sebagian besar berasal dari mereka, dan mereka perlu didukung,” ungkap Anthony.
Theresia Gunawan, Direktur Bandung Food Smart City, mengambil alih dengan membahas dampak urban farming di Bandung.
“Di kota kita, yaitu Kota Bandung, urban farming tidak hanya memperkuat ketahanan pangan tetapi juga membuka peluang ekonomi baru,” kata Theresia.
“Ini menjadi jawaban atas beberapa isu utama kami, termasuk kemiskinan dan kesehatan.”
Tjatur B. Lestijaman, GM Research and Development PT Indolakto, melanjutkan dengan menjelaskan bagaimana industri susu menangani limbah.
“Kami fokus pada pemanfaatan limbah susu untuk meningkatkan nilai ekonomi dan keberlanjutan. Ini meliputi penggunaan limbah cair dan padat dalam berbagai aplikasi,” terang Tjatur.
Terakhir, Wilsandi dari DKPP Kota Bandung, menyoroti bagaimana urban farming dapat menarik minat generasi muda.
“Kami menggunakan berbagai strategi, termasuk kolaborasi dengan proyek seni dan fotografi, untuk membuat urban farming menarik bagi anak muda,” jelas Wilsandi. (NAT-Humkoler UNPAR)