UNPAR.AC.ID, Bandung – Pandemi Covid-19 telah membuat perubahan yang masif pada berbagai aspek seperti ekonomi, sosial, dan politik. Era digital pun telah membuat seluruh aktivitas berubah tidak seperti biasanya. Tidak hanya itu, kini diplomasi juga dikabarkan mengalami pergeseran menjadi diplomasi digital atau yang lebih dikenal dengan digital diplomacy. Topik ‘hard power’ seperti kerja sama militer, kerja sama ekonomi, bilateral, kepentingan nasional, dan lain-lain sudah semakin sedikit peminatnya.
Diplomasi yang memanfaatkan teknologi digital sangat penting untuk dikembangkan. Hal tersebut dikarenakan digital diplomacy memiliki beberapa dampak positif, yakni membatasi Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi lebih murah, akses dan ketersediaan pemerintah ke seluruh warga yang lebih massal dan terbuka, serta meningkatkan efisiensi dalam pelayanan.
Hal tersebut dikemukakan oleh Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan (HI UNPAR), Prof. Sukawarsini Djelantik, Dra, M.Int.S, PH.D. pada acara bertajuk “ Talkshow dan Bedah Buku Diplomasi pada Era Informasi: Digitalisasi, Kebijakan Luar Negeri, dan Membangun Citra” yang dilaksanakan pada Rabu (19/10/2022) lalu di Ruang Galeri MKAA (Museum Konferensi Asia Afrika). Acara tersebut dilaksanakan secara offline dalam rangka memperingati Hari Museum Indonesia 2022 “Museum Inspirasi dan Diplomasi”.
Guru Besar yang kerap disapa Prof. Suke tersebut menuturkan bahwa pendekatan komunikasi pada diplomasi digital mengandaikan pemerintah menjadi pemegang kendali.
Pemerintah menjadi aktor utama dan pertama yang dapat memiliki ide, merancang berbagai program/aktivitas, termasuk melihat bentuk program yang akan dijalankan. Di sisi lain, keterlibatan aktor non negara juga memiliki peran signifikan dalam diplomasi multi jalur ini. Aktor non negara dapat meliputi kelompok bisnis, kelompok pendidikan, organisasi kemasyarakatan, dan lain-lain.
“Kalau diplomasi multi jalur ini, banyak aktor-aktor non negara yang sifatnya mendukung diplomasi publik tersebut,” ujarnya.
Meskipun demikian, Prof. Suke menyatakan bahwa hal yang terpenting dalam diplomasi publik adalah media. Efektivitas sebuah program nantinya akan diukur dari respon yang didapatkan oleh sasaran yakni masyarakat di negara penerima, bukan negara sendiri. Hal ini merupakan upaya nation branding atau membangun citra positif di negara lain. Sebagai contoh, negara Korea Selatan berhasil memiliki citra positif di mata masyarakat Indonesia.
“Diplomasi Publik Korea sangat berhasil, kita harus melakukan hal yang sama entah gimana caranya,” tuturnya.

Dia pun mengungkap tujuan dari diplomasi digital, antara lain :
- Memperoleh dan mengelola informasi.
- Mendukung diplomasi publik.
- Mengelola informasi agar tepat sasaran.
- Komunikasi konsular dan merespons krisis.
- Respons bencana seperti saat covid-19.
- Kebebasan internet di mana seluruh masyarakat bebas mengakses informasi.
- Memanfaatkan sumber daya eksternal.
- Merancang kebijakan khususnya terkait diplomasi digital.
Lebih lanjut, Prof. Suke memperkenalkan istilah Twiplomacy atau dikenal sebagai Diplomasi Twitter, di mana diplomasi/komunikasi dilakukan melalui aplikasi Twitter untuk mendapatkan respons publik. Berdasarkan data November 2021, Presiden Joko Widodo menempatkan posisi ke-5 sebagai pemerintah dengan pengikut terbanyak.
“Kita bisa melihat dari sini, popularitas dari seorang pemimpin bisa dilihat dari pengikutnya dari Twitter,” ucapnya. (KTH/JES-Humkoler UNPAR)