UNPAR.AC.ID, Bandung – Kolaborasi alumni dan mahasiswa Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) kembali harumkan nama kampus pada sayembara desain skala internasional yang diselenggarakan FuturArc Prize (FAP) 2022. Tim yang terdiri dari Eistein Benedito dan Aldrianta Pribadi yang merupakaan mahasiswa angkatan 2018, serta Gevin Timotius, Rifqi Favian, dan Ahimsa Sirait selaku alumni Arsitektur UNPAR tersebut menyabet juara dua dalam ajang yang bertajuk “Reinterpretation” dalam penganugerahan BCI Asia Awards yang diumumkan pada Selasa (23/8/2022).
Gelaran FAP 2022 tersebut mengajak pesertanya untuk menafsirkan kembali entitas eksisting binaan yang kosong akibat krisis kesehatan kembali sebagai binaan milik umum yang aman, mengundang, berkelanjutan, dan kembali kepada masyarakat. FAP 2022 sendiri masuk kepada rangkaian acara penganugerahan tahunan BCI Asia Awards 2022.
Melansir laman BCI Asia Awards, acara penganugerahan ditujukan sebagai pengakuan terhadap para pengembang dan firma arsitektur yang telah membangun dan merancang bangunan dengan volume terbesar, serta proyek yang sensitif secara ekologis dan interior yang mengesankan di tujuh pasar Asia; Hong Kong, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam.
Acara ini berusaha untuk mendorong terciptanya arsitektur yang bertanggung jawab secara sosial, dan tetap menjadi salah satu penghargaan yang paling didambakan dalam industri bangunan regional sambil berfungsi sebagai platform untuk jaringan domestik dan internasional di antara perusahaan arsitektur elit, pengembang properti, produsen dan penyedia layanan.
Eistein selaku perwakilan timnya mengatakan, jika dia dan timnya tertarik mengikuti kompetisi tersebut selain sebagai portofolio di masa yang akan datang, tapi juga tertarik dengan isu yang diangkat.
“Kami tertarik karena pertama punya interest ke issue urban dan city development. Kedua, melihat hasil FuturArc sebelumnya selalu involve critical thinking yang desainnya benar-benar diperhatikan secara sistem, especially to achieve sustainability. Terakhir, FAP publikasinya sangat baik dan skalanya juga internasional, jadi bagus untuk portofolio pribadi maupun kampus di mata khalayak umum,” katanya sebagaiamana dikutip, Rabu (14/09/2022).
Dia menuturkan, timnya mengangkat tajuk “Biodivercity”yang muncul akibat fenomena turunnya tingkat biodiversitas di skala kota, terutama Jakarta.
“Dimana karena development dari kotanya tidak terintegritas, pembangunan dilakukan secara semrawut, tanpa memperhatikan ketersediaan ruang sehat untuk entitas flora dan fauna. Terlebih, banyak bangunan terbengkalai yang juga berdampak buruk bagi lingkungan, seperti Bandara Kemayoran yang kami jadikan objek proyek misalnya,” tutur Eistein.
Tim Eistein memilih objek yang terletak di utara ibu kota Indonesia, Jakarta. Rencana ambisius untuk Bandara Kemayoran tidak berjalan dengan baik karena berbagai alasan, meninggalkan struktur yang dulu berkilau ditinggalkan. Sebuah gambaran dari pembangunan kota yang hancur, puluhan proyek yang belum selesai dibiarkan berserakan di sekitar area dan lahan-lahan kosong telah tumbuh menjadi hutan kota yang liar.
Rancangan dirinya tersebut mengubah struktur yang dibangun saat ini menjadi menara pengawas dan ruang komunitas, membuat taman, tempat perlindungan, serta penghubung untuk akses dan penggunaan publik. Skema intervensi berorientasi alam juga diterapkan untuk mempertahankan identitas arsitektur bangunan yang ada sambil mengintegrasikan infrastruktur biru-hijau yang rendah, rehabilitasi sistem irigasi dan penciptaan lahan basah dengan lingkungan buatan dan alam yang ada untuk memulihkan ekosistem yang layak huni untuk meningkatkan keanekaragaman hayati di dalam kota.
Eistein mengucapkan, tantangan dalam proses desain utamanya bagaimana mengintegrasikan semua sistem untuk menciptakan desain yang liveable.
“Enggak cuma untuk manusia, tapi flora dan fauna juga dalam waktu yang bersamaan. Tantangan ini membuat kita mau enggak mau harus banyak tentang fitur-fitur desain seperti constructed wetland, low footprint design, dan renewable energy generator,” ucapnya.
Kompetisi desain yang diusung pun menarik dari sisi tema yang diberikan, menurut Eistein.
“Temanya sangat menarik, menyadarkan kita kalau banyak bangunan terbengkalai yang sebenarnya lewat skema revitalisasi, rekonstruksi, atau restorasi, bisa kembali digunakan untuk kepentingan yang kontekstual di masa ini. Sehingga, mindset kita ga selalu harus bangun baru, tapi bisa memaksimalkan potensi struktur-struktur yang sudah ada,” katanya.
Dia berharap, Indonesia ke depannya bisa lebih peka dan terencana dalam mendesain ruang kota dan fasilitas publik yang ramah bagi semua entitas makhluk hidup.
“Seperti Tebet Eco Park yang memperlihatkan kita bagaimana ruang publik dapat nyaman bagi manusia, memiliki nilai komersial dan komunitas, dan di saat yang bersamaan dapat menyenangkan juga bagi hewan dan tumbuhan,” kata Eistein.
Eistein juga berharap kepada rekan-rekannya di UNPAR agar lebih banyak lagi ikut kompetisi sayembara desain, terutama yang mengangkat tema yang kritis dan menuntut untuk benar-benar menyelesaikan masalah.
“Gak cuma adu estetika. Karena kita merasa di Arsitektur UNPAR sangat dididik tentang berpikir kritis dan runut, nah platform-platform seperti inilah yang bisa membuat gagasan bagus kita ga sekadar jadi arsip tugas atau berkas Powerpoint aja, tapi bisa jadi statement dan untuk para pegiat profesi dan syukur-syukur kalau sampai ke telinga masyarakat,” katanya.
Selain itu, menyadur dari laman FuturArc, salah satu tim juri yaitu Carlos Bañón, mengatakan jika rancangan dari tim UNPAR tersebut sangat relevan. Kemudian juga dia mengungkapkan atensinya terhadap pemecahan masalah yang mencakup spesies lain, tidak hanya manusia.
“Saya juga suka bagian di mana mereka mencoba untuk menghormati materialitas, atau setidaknya, dengan cara yang menghormati situs—itu juga salah satu nilai entri, di mana mereka tidak melakukan transformasi besar secara visual, tetapi sesuatu yang halus. Praktis sekaligus. Saya menganggapnya sebagai kandidat yang solid,” tuturnya dalam keterangan tertulis. (RBF-Humkoler UNPAR)