Oleh: Tri Joko Her Riadi., S.S., M.A., (Dosen Integrated Arts Fakultas Filsafat UNPAR)
UNPAR.AC.ID, Bandung – Pendidikan tidak boleh terperangkap oleh tembok-tembok sekolah atau kampus, entah dalam nyaman atau dalam berontak. Ia harus melompat keluar, menemui masyarakat, lalu memberi tanggapan untuk seribu tantangan dan peluang yang mereka hadapi.
Hanya dengan begitu, pendidikan, bisa relevan. Bisa lestari.
Kisah Senyap, pameran karya-karya fotografer terpilih dalam program Photo-Demos Challenge: Albertus Vembrianto, Malahayati, dan Arif Hidayah, di Aula Pascasarjana Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR), Jalan Merdeka, Kota Bandung, 4-13 Februari 2022, memberi gambaran (mungkin juga kecemasan, harapan, atau bahkan imajinasi) tentang apa yang dihadapi, juga yang dihidupi, komunitas-komunitas masyarakat kita hari ini. Ada persoalan muncul dari pembuangan tailing perusahaan tambang di Mimika, Papua. Ada kegelisahan yang berkecamuk tentang praktik poligami. Ada kemalangan, tapi juga perjuangan gigih warga, yang lahir dari penggusuran di Tamansari, Bandung.
Sejak cerita-cerita itu dibekukan dalam jepretan kamera lalu ditampilkan untuk publik, tantangan dan peluang yang dihadapi warga terus menggelinding. Terus berteriak menuntut tanggapan, termasuk dari insan perguran tinggi.
Di Tamansari, Eva Eryani bersikukuh menjadi satu-satunya warga yang bertahan. Membangun bedeng di tapak bekas rumahnya yang sudah rata dengan tanah, tepat berhadapan dengan bangunan rumah deret yang menjulang, dia belum menyerah menuntut keadilan.
Integrated Arts, yang berproses bersama Photo-Demos dalam pameran foto Kisah Senyap ini, adalah konsentrasi studi baru di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan yang membayangkan pendidikan seni bersilang dengan berbagai ilmu lain sebagai suatu usaha membentuk ruang hidup bersama. Begitulah pameran foto ini, sebagai bagian dari usaha tersebut, tidak berhenti menjadi acara memamerkan foto.
Sedikitnya ada dua tanggapan yang dilakukan oleh Integrated Arts, yang kemudian menjadi bagian dari rangkaian pameran. Tanggapan pertama berupa penulisan dan pencetakan zine yang dijuduli “Masih Satu, Masih Melawan”, yang lalu dibagikan kepada para pengunjung. Proses penulisan zine melibatkan Eva Eryani, mewakili warga Tamansari terdampak proyek rumah deret, dan Deti Sopandi, pendampingnya dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Jawa Barat.
Eva menuliskan ingatannya tentang tiga tanggal penting terkait konflik di Tamansari, yakni klaim hari sosialisasi oleh Pemerintah Kota Bandung pada 20 Juni 2017, penggusuran lahan oleh aparat pada 12 Desember 2019, dan kondisinya terkini pada 23 Januari 2022.
“Selama pandemi ini, sudah berbagai pekerjaan saya coba. Saya membuat kebun seluas 20 tumbak di bekas reruntuhan dan 3 tumbak persis di depan rumah yang saya bangun lagi di tapak bekas rumah lama saya yang dirobohkan. Segala macam bibit dari teman petani saya tanam. Jagung, singkong, talas, kacang panjang, dan ubi cileumbu. Namun selalu saja tanaman-tanaman itu diganggu dan dirusak,” tulis Eva.
Deti membagikan refleksi pribadinya selama memberikan pendampingan di Tamansari. Dia tidak jarang menemani Eva menjalani hari di bedeng di atas puing kampungnya itu.
“Perempuan-perempuan di tanah konflik Tamansari, seperti TE, kembali mengingatkan kita pada posisi rentan perempuan di pusaran penindasan berlapis, yaitu sistem ekonomi kapitalistik dan budaya patriarki. Mereka terjerat oleh kemiskinan dan kekerasan. Namun, perempuan-perempuan itu terbukti mampu berdiri di garda depan dan menjelma godam,” tulis Deti yang sembari melakukan pendampingan hukum, tetap sanggup melanjutkan kuliahnya.
Sebagai tanggapan kedua, Integrated Arts menggelar forum diskusi yang menghadirkan orang-orang lapangan yang selama ini terlibat di ‘titik’titik api’ penggusuran di Kota Bandung. Bersama Eva Eryani dan Deti Sopandi, datang sebagai narasumber Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung Lasma Natalia dan perwakilan Aksi Kamisan Bandung Fayadh. Sebagian besar peserta diskusi adalah mahasiswa dari berbagai kampus di Bandung. Forum diskusi sore itu menjadi wadah untuk saling mendengarkan, sekaligus saling belajar tentang permasalahan di akar rumput.
Apa yang dilakukan oleh komunitas Aksi Kamisan Bandung patut mendapat penyebutan khusus karena mereka, dengan cara-cara yang kekinian, berhasil mendekatkan isu berat hak asasi manusia (HAM) ke kalangan anak muda, terutama mahasiswa.
Produksi zine dan penyelenggaraan forum diskusi dalam rangkaian pameran foto Kisah Senyap bisa dilihat sebagai secuil inisiatif perguruan tinggi untuk berproses bersama warga. Ia bisa menjadi pijakan awal bagi insan intelektual untuk melompati dinding tembok yang selama ini mengungkung pendidikan (seni). Demikianlah pendidikan, tak terkecuali pendidikan seni yang sedang dirintis di kampus UNPAR Bandung, harus senantiasa tumbuh bersama dinamika masyarakat.
Tulisan tersebut sebelumnya telah dimuat di Harian Kompas dan Kompas.id pada 23 Februari 2022 dengan judul “Dari Sebuah Pameran Foto”.