Oleh: Mangadar Situmorang
Determinasi pemerintah untuk menjadikan kawasan Danau Toba sebagai destinasi pariwisata internasional didasarkan pada penilaian (appraisal) ekonomis dan nirekonomis.
Sebagaimana dikemukakan para pejabat terkait, secara global sektor pariwisata kian signifikan bagi pertumbuhan ekonomi dunia dan secara nasional pariwisata diproyeksikan menjadi penyumbang devisa terbesar. Sebagai bagian dari kalkulasi ekonomi dan nirekonomi itu, pariwisata Danau Toba juga diyakini memberi dampak positif bagi pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar Danau Toba.
Optimism yang digaungkan pemerintah dan antusiasme yang ditunjukan berbagai lapisan masyarakat berangkat dari pengakuan kolektif; Danau Toba dan sekitarnya berpotensi pariwisata luar biasa. Ini mencakup keindahan warisan sejarah bumi yang merupakan hasil letusan gunung berapi 74.000 tahun silam dan keistimewaan peradaban umat manusia yang tinggal dan menyatu dengan alam itu.
Karena itu, keduanya harus dapat dikelola sebaik-baiknya sekaligus dimanfaatkan untuk tujuan pembangunan. Jika dikelola dengan tepat dan holistis, pariwisata Danau Toba akan berdampak positif luas karena berdasar pada sumber daya alam tak berkesudahan dan berbasis pada masyarakat dan budaya luhur.
Determinasi pemerintah tampaknya akan segera diikuti dengan eksekusi konversi. Langkah konversi pertama yang harus dilakukan adalah restorasi daya dukung kawasan. Ini dapat dilaksanakan sesegera mungkin: menghentikan seluruh aktivitas ekonomis dan nirekonomis yang telah mengakibatkan degradasi dan kerusakan lingkungan yang luar biasa. Penebangan hutan secara liar, perikanan jaring apung (keramba), dan pembuangan limbah ke danau oleh industri peternakan dan pertanian (pestisida) merupakan tiga kelompok kegiatan yang selama ini telah merusak bukan hanya keindahan, melainkan juga daya hidup dan daya dukung kawasan.
Langkah kedua yang segera mengikuti adalah reboisasi hamparan hutan di sepanjang Bukit Barisan yang mengitari danau dan jadi sumber pasokan air Danau Toba. Ini bertujuan mengembalikan keindahan serta memulihkan daya dukung alam untuk sebuah industry ekoturisme. Jika berhasil dilakukan, ini akan menegaskan keunggulan paradigma pembangunan berbasis alam dan bukan paradigma yang merusak alam melalui kegiatan ekstraktif dan eksploitatif, seperti pertambangan atau perkebunan modern.
Sejalan dengan desain ekoturisme, kegiatan restorasi akan diikuti dengan pemetaan kawasan untuk fungsi tertentu. Dalam hal ini konversi lahan menjadi dominan. Ini harus diwaspadai karena kerap menimbulkan kontroversi. Secara indikatif konversi ini bisa mencakup pengalihan fungsi, perluasan manfaat, sekaligus pemaknaan ulang terhadap alam dan lingkungan hidup.
Pengalihan fungsi bisa berarti pemanfaatan lahan atau area tadinya tak ekonomis. Perlu menghindari pengalihan lahan/kawasan yang potensial untuk pertanian atau pengalihan kawasan yang memiliki situs historis, kebudayaan, atau bermakna sacral dan religious. Lereng gunung yang sangat terjal, tandus, dan rawan longsor boleh jadi terbuka dialihfungsikan jadi kawasan berpotensi edukatif dan rekreatif. Rekayasa sains dan teknologi amat membantu konversi semacam ini.
Konversi yang merupakan upaya peningkatan manfaat tampaknya tak terlalu sensitive. Sebagai ilustrasi, jika selama ini kawasan Danau Toba hanya sekadar tempat tinggal bagi penduduk setempat, melalui pariwisata daerah itu menjadi tempat tujuan banyak orang mendapat pelajaran dan pengetahuan. Kampung-kampung adat atau luat dapat dikembangkan menjadi obyek wisata tempat wisatawan belajar dan mengalami. Danau yang selama ini untuk mencari ikan dan dijual di pasar tradisional atau sebagai sumber air bersih untuk kebutuhan rumah tangga dan pertanian dapat dikembangkan menjadi sarana edukasi, olahraga, dan rekreasi.
Perlu dicermati sungguh-sungguh bahwa pengalihan dan perluasan fungsi lahan sangat rentan terhadap terjadinya kemungkinan tuduhan praktik perampasan, penyerobotan lahan, atau bahkan penggusuran penduduk. Ini akan memicu perdebatan, pertikaian, bahkan tindak kekerasan. Dalam banyak kasus, klaim atas kepemilikan lahan/tanah baik secara legal maupun kultural tidak selalu mudah dikompromikan dan berakhir dengan solusi-solusi yang beradab.
Preservasi Budaya
Keindahan alam Danau Toba tak dapat dipisahkan dari masyarakat yang tinggal di kawasan itu. Ini termasuk seluruh aspek kebudayaan yang dimilikinya. Karena itu, pariwisata Danau Toba tak hanya merupakan wisata alam, tetapi juga wisata historis, wisata kultural, bahkan wisata spiritual (seperti ziarah). Ada satu kesatuan dari alam, masyarakat, dan budaya setempat. Hal itu tampaknya sejalan dengan pernyataan Menteri Pariwisata Arief Yahya bahwa pemerintah ingin menciptakan “10 Bali baru” di Indonesia, salah satunya kawasan Danau Toba.
Seperti halnya destinasi internasional Bali, berarti seluruh unsur kebudayaan harus dijaga dan dirawat. Ini meliputi system pengetahuan dan kepercayaan, system ekonomi, dan tatanan social kemasyarakatan yang, sekali lagi, menyatu dengan lingkungan alamnya (tanah dan danau).
Pemerintah dan seluruh pihak yang terkait dengan pembangunan ekowisata Danau Toba tak boleh mengabaikan kekhawatiran/ketakutan sebagian masyarakat bahwa pariwisata justru akan menggusur masyarakat dari tanah kelahirannya, bona pasogit, dan mencabut mereka dari akar budaya dan system kepercayaan yang diwarisi dari nenek moyangnya selama berabad-abad.
Fakta penggusuran (yang terjadi di berbagai tempat guna mengakomodasi berbagai mega proyek, seperti jalan tol, bandara, atau infrastruktur lain) dikhawatirkan dialami masyarakat di sekitar Danau Toba. Jika dikemas dengan berbagai argumentasi akademis bahkan ideologis, kecemasan dan ketakutan semacam itu dapat berubah menjadi penolakan. Akibatnya, keputusan pemerintah hanya sekadar keputusan tanpa implementasi.
Untuk menghindari penolakan yang masif dan kultural, pemerintah pusat ataupun jajaran kabupaten, kecamatan, dan desa perlu segera mengambil langkah antisipatif. Sosialisasi kebijakan pembangunan pariwisata perlu dilakukan sejak dini, terstruktur, dan berkelanjutan. Lebih jauh lagi, melibatkan komponen masyarakat, seperti sekolah, lembaga keagamaan, dan asosiasi adat. Masyarakat perlu dipersiapkan. Berbagai ragam organisasi masyarakat sipil lain dapat disertakan dalam edukasi ini.
Kombinasi aparat pemerintahan (hingga desa), tokoh adat atau marga, dan unsur masyarakat sipil lain dapat jadi critical mass yang mengusung semangat pembangunan dan konservasi. Semuanya membawa pesan sama bahwa pembangunan pariwisata Danau Toba tak akan merusak lingkungan alam dan tak akan jadi ancaman terhadap tatanan sosio-kultural masyarakat.
Tujuan sosialisasi dan edukasi adalah mendapatkan pengertian dan dukungan dari masyarakat bahwa pembangunan itu justru dimaksudkan menjaga alam dan merawat budaya leluhur sembari memberi manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Dengan edukasi yang baik, masyarakat akan ambil bagian, jadi pelaku utama, dan penerima utama industri jasa pariwisata.
Sumber: KOMPAS – Selasa, 8 Maret 2016