UNPAR.AC.ID, Bandung – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI mengajak sivitas akademika Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) bersinergi membangun kesadaran bersama akan bahaya paham radikalisme dan terorisme serta tidak memberikan ruang bagi paham tersebut untuk tumbuh. Sikap humanis dan menyiapkan wadah untuk berkreativitas bagi mahasiswa dinilai akan menjauhkan sikap dan tindakan yang mengarah ke radikalisme.
Hal tersebut mengemuka dalam Webinar Nasional yang diprakarsai Biro Kemahasiswaan dan Alumni (BKA) UNPAR bertajuk Be Aware of Radicalism in Society (BARIS) 2021, Sabtu (26/6/2021). Webinar BARIS 2021 merupakan bagian akhir dari rangkaian kegiatan BARIS 2021 yang diawali dengan kompetisi berupa Lomba Esai, Lomba Pidato, dan Lomba Video Kreatif. Kompetisi ditujukan bagi pelajar tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA)/sederajat, mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Indonesia, serta Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK). Kompetisi bertema “Agent of Change: Berkarya dalam Mencegah Radikalisme di Indonesia”.
Hadir sebagai pembicara Muhammad Aras Prabowo, S.E., M.Ak., selaku bagian Perencanaan Program dan Keuangan Subdit Pemberdayaan Masyarakat pada BNPT RI. Serta Anggota Kelompok Kerja (Pokja) Bidang Sosial Politik di Dewan Ketahanan Nasional (2006-sekarang), Dr. H. Deden Ramdan, M.Si., CICIP, DBA. Webinar turut dipandu oleh Willfridus Demetrius Siga, M.Pd., dari Pusat Studi Pancasila (PSP) UNPAR.
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni UNPAR C. Harimanto Suryanugraha, OSC, Drs., SLL., dalam sambutannya mengatakan bahwa patut disadari dalam beberapa tahun terakhir ini banyak rongrongan ditengah masyarakat Indonesia, terutama dalam kehidupan sosial-politik. Menurut Romo Hari-begitu kerap disapa-masyarakat tak boleh mengabaikan semua fakta, realitas, dan peristiwa yang ada di sekitar atas hal itu.
“Maka saya sangat menyambut baik kita bisa berkumpul bersama menyadari atau semakin mengetahui wawasan yang luas tentang bahaya yang salah satunya disebut radikalisme,” tuturnya.
Romo Hari pun memaparkan bahwa dalam dunia filsafat dikenal istilah “radic” yang artinya berpikir secara radikal dan dimaknai secara positif. Menggambarkan orang yang berpikir kritis sampai ke akar-akarnya. Dalam bahasa Latin, “radix” berarti akar. Namun kata ini berkembang dan secara sosial-politik mempunyai makna negatif, yakni adanya sekelompok orang yang memiliki keinginan dan ideologi baru dengan tujuan menghadirkan suatu perubahan yang cepat, revolusioner, dan menggunakan berbagai macam cara, baik kekerasan hingga terorisme.
“Kita semua mengalami itu. Mengalami kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan, menakutkan, dan itu menganggu kesatuan dan kebersamaan kita. Semoga para pemateri memperluas wawasan kita semua dan membawa manfaat sebesar-besarnya,” tutur Romo Hari.
Pembelokan Makna
Sepakat dengan apa yang disampaikan Romo Hari, Deden Ramdan yang juga merupakan Wakil Rektor III Universitas Pasundan (Unpas) itu menyatakan bahwa radikalisme berawal dari kata “radic” yang artinya akar. Problemnya kini, terjadi pembelokan mana. Ketika berbicara tentang ‘akar’ itu sendiri, terutama dalam perspektif sosial-politik ditafsirkan sebagai suatu keinginan untuk mengubah. Dalam hal ini perubahan berkaitan dengan cara pandang, sikap, dan langkah.
“Itu barangkali yang menjadikan (radikalisme) sebuah tindakan yang bertolak belakang dengan nilai-nilai, aturan, norma, dan seterusnya,” ujarnya.
Jika melihat konteks saat ini, penggunaan diksi radikalisme jatuh ke dalam sebuah konotasi negatif. Menjadi semacam tindakan intimidasi, kekerasan, hingga intoleransi di dalamnya. Bagaimana dengan di Indonesia?
Berbicara radikalisme di Indonesia, Deden mengacu pada Kamus Bahasa Besar Indonesia (KBBI) agar tidak ada kesalahpahaman. Radikalisme punya tiga arti, pertama ‘paham atau aliran yang radikal dalam politik’. Kedua, ‘paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis’. Ketiga, ‘sikap ekstrem dalam aliran politik’.
“Namun (pengertian) yang ketiga yang kuat (dipahami), yakni sikap ekstrem yang melakukan satu tindakan-tindakan termasuk juga berkaitan dengan tindakan politik. Menurut hemat saya, radikalisme itu akan bermuara pada sikap politik terhadap sebuah kekuasaan, pemerintahan, establish dari sebuah government atau state,” tuturnya.
Jika berbicara lingkungan kampus, langkah-langkah literasi, dialog bersama, hingga diskusi perlu dilakukan agar pihak atau oknum yang menghadirkan radikalisme di kampus semakin terdegradasi.
“Counter-nya adalah menyiapkan wadah-wadah untuk berekspresi sehingga energi mereka (mahasiswa,red) tersalurkan. Kita juga sebenarnya diuntungkan dengan teknologi karena sangat membantu generasi muda mengejawantahkan energinya, satu di antaranya dengan memunculkan nilai tambah dalam revolusi 4.0 ini,” kata dia.
Menurut dia, menjadi hal positif jika memegang sebuah paham bahwa mamahami suatu persoalan harus sampai ke akar. Namun lain soal jika radikalisme dalam perspektif negatif, maka semua elemen harus memiliki sikap bersama untuk memerangi itu, karena menjadi sebuah enemy.
Dia pun menuturkan bahwa kampus adalah tempat bersemainya kaum-kaum yang berpikir dan berjuang demi kebaikan. Tentu menjadi kontradiktif jika kampus menjadi sarangnya merumuskan kebencian.
“Negara ini sedang bermasalah, terpuruk dalam berbagai dimensi, pandemi (Covid-19) ini tidak bisa dianggap main-main. Saya pikir hanya dengan kolaborasi dan sinergi memerangi sikap radikalisme dan menjadikan kampus sbeagai media untuk menghadirkan sejumlah hal yang positif bagi kemaslahatan bangsa,” ucapnya.
Sikap Humanis
Sementara itu, Muhammad Aras Prabowo, mengapresiasi Webinar Nasional yang diinisiasi UNPAR. Menurut dia, giat BARIS 2021 menjadi bagian dari pencegahan dan memotong paham radikalisme dan terorisme di mahasiswa. Menurut dia, solusi paling riil saat ini adalah membangun kesadaran bersama akan bahaya radikalisme.
Kesadaran tersebut pun perlu dibangun dengan melibatkan semua elemen, bukan hanya pemerintah. Dengan begitu, maka tak ada lagi ruang bagi radikalisme dan terorisme untuk tumbuh. Lebih lanjut, hal paling mendasar untuk meng-counter paham radikalisme adalah sikap humanis.
“Meskipun kita berbeda-beda, tetapi ketika kita menjadikan kemanusiaan (sebagai dasar), itu akan mendatangkan kedamaian dan nilai toleransi. Ketika kita mampu memupuk nilai toleransi dalam negara kita, saya kira radikalisme dan terorisme tidak akan terjadi,” ujarnya.
Aras mengungkapkan, dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan terorisme, BNPT tidak bisa bekerja sendiri. Oleh karena itu, perlu kolaborasi antar elemen, termasuk lingkungan kampus dan mahasiswa.
“Untuk itu BNPT mengajak lingkungan kampus UNPAR mari kita bersama-sama membangun sinergitas dengan peran masing-masing sehingga paham radikalisme dan terorisme tidak berkembang di Indonesia. Kita dalam berinteraksi baik di kampus meskipun kita berbeda-beda, yang kita jadikan dasar kita berinteraksi sesama manusia adalah kemanusiaan. Jadi kita harus saling memanusiakan, saling menghargai batasan, kita tidak tercederai satu sama lain sehingga toleransi tetap terjaga,” tutur dia. (Ira Veratika SN-Humkoler UNPAR)