UNPAR.AC.ID, Bandung – Di tengah pusaran Orde Baru, seorang A.M.W Pranarka melakukan studi yang sangat tekun tentang Pancasila melintasi batas-batas cakrawala disiplin ilmu hukum, teologi, filsafat, kebudayaan, politik, dan lainnya. Momentum perayaan Dies Natalis yang ke-63 pun dimanfaatkan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (FH UNPAR) untuk mereguk kembali salah satu pemikiran berupa karya riset doktoral Pranarka yang dituangkan dalam buku “Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila”.
Melalui Forum Cendikia Hukum yang diinisiasi Laboratorium Hukum UNPAR, giat bertajuk “Bincang Buku A.M.W Pranarka” itu akan berlangsung dalam 4 sesi mulai dari 9 Juli 2021 hingga 10 September 2021 mendatang. Ketua Panitia Karolus E. Lature S.H., M.H., mengatakan bahwa acara bincang buku ini menjadi pembuka seluruh rangkaian Dies Natalis ke-63 FH UNPAR, dimana panitia mengusung 3 kata kunci, salah satunya adalah Pancasila.
“Itu sebabnya bedah buku menjadi wadah bertukar pikiran dengan narasumber yang akan membedah pemikiran Pranarka. Buku ini merupakan buah pemikiran Pranarka pada saat melakukan riset doktoralnya di almamaternya, yaitu FH UNPAR,” ucap Karolus Jumat (9/7/2021).
Adapun alur pembedahan pada sesi pertama, 9 Juli 2021 lalu dimulai dengan membedah bagian “Pendahuluan”. Kemudian pada 30 Juli 2021 membedah bagian pertama “Pemikiran-pemikiran tentang Pancasila (Inventarisasi)”. Dilanjutkan pada 20 Agustus dengan membedah bagian kedua huruf A “Perkembangan Pemikiran mengenai Pancasila: Suatu Gambaran Umum dalam Kerangka Sejarah Pemikiran”. Sementara bagian kedua huruf B “Suatu Tinjauan Analitis terhadap Perkembangan Pemikiran tentang Pancasila” dan bagian ketiga “Suatu Tinjauan Kritis terhadap Masalah-masalah tentang Pancasila dan Jalur-jalur Pemecahannya” akan dikupas tuntas di sesi terakhir.
Dalam sambutannya, Dekan FH UNPAR Dr. iur Liona Nanang Supriatna, S.H., M.Hum., mengatakan jika membaca sekilas pemikiran Pranarka dalam buku tersebut menunjukkan adanya kompleksitas permasalahan dan heterogenitas pandangan. Kompleksitas tersebut antara lain masalah sumber, tafsir, dan apakah Pancasila itu subject to change atau problem evolusi serta kompleksitas dalam pemikiran mengenai pemikiran Pancasila itu sendiri.
Menurut dia, permasalahan tersebut mengundang perdebatan yang sarat dengan kepentingan. Pemecahan berbagai kompleksitas permasalahan itu pun dijabarkan lebih lanjut dapat ditempuh dengan dua jalur, yaitu jalur pemikiran politik kenegaraan dan jalur pemikiran akademis.
Jalur pemikiran kenegaraan yaitu penjabaran Pancasila sebagai ideologi, bangsa, dasar negara, dan sumber hukum. Hal itu dijabarkan dalam berbagai ketentuan hukum dan kebijakan politik. Dalam hal ini para para penyelenggara negara berkewajiban menjabarkan nilai-nilai Pancasila ke dalam perangkat perundang-undangan serta berbagai kebijakan dan tindakan.
“Tujuan penjabaran Pancasila dalam konteks ini adalah untuk mengambil keputusan konkret dan praktis. Ini merupakan hal yang menarik yang tidak pernah hentinya untuk didiskusikan. Oleh karena itu, saya menyambut gembira atas beda dan juga mendiskusikan buku ini. Semoga acara-acara diskusi terutama tentang Pancasila ini semakin digiatkan, karena tampaknya ini mesti kita gali terus melihat kondisi saat ini,” ujar dia.
Pembedah buku dalam sesi pertama, yaitu Kepala Laboratorium Hukum UNPAR Tanius Sebastian, S.H., M.Fil. Dia menuturkan, sesi pertama ini peserta diajak untuk melihat hidup dan karya dari seorang Pranarka lalu menggaris bawahi gagasan-gagasan yang tertulis di bagian ‘Pendahuluan’ buku dan mencoba memahaminya bersama.
Lahir di Yogyakarta, 25 Mei 1940, Anthonius Moerdyanto Wignyo Pranarka merupakan anggota Dewan Direktur CSIS, Anggota MPR RI periode 1982-1987, serta Ketua Konsorsium Lembaga Pengkajian Kebudayaan Taman Siswa. Licenciate of Philosophy diperoleh pada tahun 1965 setelah lulus magna cum laude dalam studi filsafat pada Athenaeo, di Poona, India. Ijazah Sarjana Hukum diperoleh dari FH UNPAR pada tahun 1969 dan sejak saat itu banyak memusatkan studi dan pemikirannya mengenai Pancasila, ideologi, politik, pendidikan, filsafat, dan kebudayaan.
Bagian ‘Pendahuluan’ terdiri dari tiga bab, yaitu Bab I ‘Maksud dan Tujuan’, Bab II ‘Pendekatan dan Metode’, dan Bab III ‘Sumber-sumber dan Referensi’. Bab I Pendahuluan, Tanius membuka dengan mengutip “Lingkup studi in genere adalah tentang sejarah perkembangan pemikiran {ideen Geschichte); in specie mengenai Pancasila dalam kerangka sejarah pemikiran itu …Terdapat suatu hubungan timbal-balik antara pemikiran dan sejarah” (hlm.3).
“Saya kira di sini Pak Pranarka menampilkan ciri khas kajian pemikirannya, yaitu kajian sejarah ide. Ini satu hal penting untuk memahami pemikiran Pak Pranarka tentang Pancasila, filsafat, dan sebagainya,” tutur Tanius.
Dia pun menuturkan, buku tersebut dipilih untuk dibedah karena merupakan satu acuan yang tepat untuk mempelajari penelitian di bidang hukum. Pranarka dalam bukunya (hlm, 4-5) menyebut bahwa apa yang dilakukannya adalah pendekatan ilmiah dan mencoba memahami history of ideas dari Pancasila dengan pendekatan ilmiah. Namun bertentangan dengan pendekatan yang Pranarka sebut polemologis dan doxologis.
Pendekatan polemologis adalah pendekatan yang hanya mau membenarkan apa yang sudah menjadi posisi awalnya. Sedangkan pendekatan doxologis menunjuk pada satu model pemahaman yang mengagung-agungkan apa yang sudah dianggap benar.
“Saya melihat posisi Pak Pranarka atau posisi akademisnya atau posisi ilmiahnya mencoba melihat Pancasila tidak secara polemologis dan doxologis. Lalu dia menyatakan karyanya ini adalah studi ilmiah tentang sejarah perkembangan pemikiran yang berseberangan lagi dengan apa yang dia sebut model penulisan yang mengembangkan eklektisisme, skeptisisme, dan anarki pemikiran,” ujar Tanius.
Selanjutnya, di halaman 5-6 disebut bahwa “Masalah dasar mengenai Pancasila adalah mengetahui apakah Pancasila itu. Pancasila sebagai pemikiran terjadi dan berkembang di dalam sejarah, bahkan dapat dipandang sebagai suatu spesies di dalam sejarah pemikiran pada umumnya. Studi mengenai sejarah perkembangan pemikiran tentang Pancasila merupakan suatu pendekatan sejarah (historical approach) untuk memahami Pancasila itu sendiri”
“Dalam metodologi pemikiran ini bisa kita bandingkan dengan satu metodologi yang disebut analisis konseptual. Yaitu ketika kita mencoba memahami hakikat sesuatu dengan cara menganalisis dan memilahnya secara jelas. Ini menunjukkan betapa pentingnya di sini fokus beliau yaitu tentang hakikat Pancasila. Serta argumentasinya di sini beliau mencoba memahami Pancasila secara konseptual dan sudah merangkakan dari awal pemikirannya dari sudut sejarah pemikiran,” ucapnya.
Beralih ke Bab 2 perihal “Pendekatan dan Metode”, di halaman 9, lanjut dia, Pranarka menuliskan “Penulisan mengenai sejarah perkembangan pemikiran tentang Pancasila seperti lazimnya suatu penulisan ilmiah mengenai sejarah filsafat, sejarah, ideologi atau sejarah ajaran-ajaran hukum dan negara, dilakukan dengan mempergunakan pendekatan tematik, yaitu memusatkan perhatian pada tema-tema pemikiran untuk kemudian menganalisanya”.
Di halaman 14 Pranarka lebih lanjut menyebut “Perkembangan pemikiran mempunyai implikasinya terhadap perkembangan pendapat mengenai hukum dan negara dan begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, suatu studi ilmiah mengenai sejarah perkembangan pemikiran itu mempunyai tempat dan kedudukan dalam studi ilmiah mengenai hukum”.
Satu hal yang penting untuk mengetahui kerja atau proses bagaimana aktivitas penelitian itu dilakukan, Tanius menyebut digambarkan dengan baik oleh Pranarka. Di halaman 15 dijelaskan bahwa “Dalam rangka menyusun bagian heuristic dari studi ini telah diadakan suatu survei mengenai kepustakaan Pancasila …Survei ini diselenggarakan pada tahun 1977-1978… Sebagai tahap selanjutnya telah pula diadakan diskusi informasi dengan kelompok-kelompok yang terbatas dan lingkungan kebudayaan, sejarah, hukum, pendidikan, dan politik, mengenai hasil survei itu”.
“Saya kira digambarkan dengan baik oleh Pak Pranarka melalui satu deskripsi yang menginspirasi bagaimana kerja penelitian tingkat doktoral dilakukan sedemikian rupa,” tutur Tanius.
Hal menarik adalah pernyataan Pranarka, lanjut dia, yaitu “Akan tetapi referensi yang kemudian ternyata menjadi amat penting di dalam mendalami perkembangan pemikiran mengenai Pancasila, sebagai ideologi, dasar negara dan sumber hukum, adalah studi ilmiah mengenai hukum adat Indonesia”.
Kepala Program Studi Magister Ilmu Hukum dan Doktor Ilmu Hukum Dr. Tristam Pascal Moeliono, S.H., M.H., LL.M sebagai penanggap dalam diskusi tersebut menuturkan bahwa buku ini ketika bicara tentang konteks pemikiran Pancasila, tentunya berbicara tentang sejarah yang kita lupakan dan sedang kita ulangi. Publik kini meributkan hal-hal yang dipertentangkan, yaitu Pancasila sebagai ideologi dan agama sebagai pandangan hidup.
“Persoalannya adalah apakah ide-ide besar ini masih relevan tidak saat kita bicarakan sebagai suatu sejarah atau sebenarnya kita sedang melakukan arkeologi? Ini tentu bisa kita bahas, apakah sejarah pemikiran tentang ide yang sedemikian penting bagi bangsa Indonesia ini masih berguna enggak sekarang?,” tuturnya.
Menurut dia, sudah sepatutnya publik melihat seberapa pentingnya buku Pranarka dan apa yang bisa ditarik dari buku tersebut. “Pendekatan saya adalah melihat disertasi ini sebagai cara untuk berdialog,” katanya.
Indikator Kualitatif
Sementara itu, Deputi Pengkajian dan Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof. Adji Samekto yang turut hadir dalam bedah buku tersebut, mengungkapkan bahwa Pancasila sebagai instrumen masyarakat yang adil dan makmur. Kemudian hal itu diejawantahkan ke dalam 5 indikator kualitatif. Yaitu, terjaminnya sandang, pangan, dan papan; terjaminnya kesehatan; terjaminnya hari tua; terjaminnya kehidupan kerohanian; dan terjaminnya kehidupan yang layak secara lingkungan hidup.
“Indikator kualitatif itu dijabarkan lagi dalam sasaran-sasaran pembangunan dan ada sekitar 8 sasaran. Mulai dari sasaran di bidang pendidikan, pembangunan hukum dan HAM, bidang transportasi dan distribusi, dan bidang lainnya. Dimana untuk prioritas-prioritas itu perlu dan pentingnya riset dan inovasi nasional,” tutur dia. (Ira Veratika SN-Humkoler UNPAR)