UNPAR.AC.ID, Bandung – Tanpa kita sadari, di abad 21 ini tiba-tiba kita seolah terhubung dengan manusia di segala penjuru dunia. Dari hari ke hari ada banyak perjumpaan atau pun persilangan; maya atau pun nyata. Kehidupan menjadi hiruk-pikuk dan mengasyikkan; kita bermain dengan banyak ketakterdugaan.
Tapi pada saat yang sama, itu juga menggelisahkan dan menakutkan. Pergelaran Parahyangan Orchestra (Parchestra) kali ini menggiring kita untuk merenungi kembali hubungan-hubungan yang kita alami. Hidup memang jejaring hubungan yang tak terduga; rangkaian peristiwa yang tak selalu jelas maknanya.
Bagus juga bila sesekali kita menyiangi kembali; mana yang maya, mana yang nyata. Mana peluang; mana ancaman; mana yang bertumbuh, mana yang tenggelam dan hilang; mana yang hangatnya tetap terasa, mana yang tak jelas lagi jejaknya; tapi terutama mana yang sungguh bermakna, mana yang percuma dan sia-sia.
Hal itu menjadi cerita tersendiri yang disampaikan Parchestra lewat konser keduanya bertajuk “Kizuna”, Auditorium UNPAR, Gedung Pusat Pembelajaran Arntz Geize (PPAG), pada Selasa (28/11/2023) malam.
Konser kolaborasi Parchestra bersama UNPAR Choir, kolaborator artistik, dan musisi lainnya ini mengajak penonton untuk mengingat kembali konektivitas yang terjadi antar manusia. ‘Kizuna’ sendiri diambil dari bahasa Jepang kuno untuk menyebut sebuah tali kekang yang digunakan untuk menghubungkan seorang penunggang kuda dengan tunggangannya.
Pembina Parchestra Prof. Dr. Ignatius Bambang Sugiharta menuturkan, melalui konser ini, kita diajak untuk merenungi kembali hubungan-hubungan yang kita alami. Kehidupan menjadi sesuatu yang menyenangkan namun di saat bersamaan menjadi sesuatu yang menggelisahkan seperti situasi konflik yang tengah terjadi di beberapa negara seperti Palestina, Ukraina, dan Papua.
“Hubungan-hubungan baru seringkali mengejutkan, kadang membawa peluang baru kadang juga membawa ancaman,” ujarnya.
Konser kali ini, Parchestra membawakan total 8 (delapan) lagu. Beberapa lagu tersebut juga dibawakan oleh UNPAR Choir sebagai bentuk kolaborasi di antara keduanya.
Karya pembuka konser ini dikomposisi oleh Regina Sutisno yang bertajuk “Opportunity” yang diambil dari nama sebuah robot penjelajah di planet Mars.
Karya ini berusaha menceritakan tentang perjalanan Opportunity untuk menjelajahi planet Mars selama 3 bulan yang nyatanya Opportunity dapat bertahan hingga 14 tahun lamanya.
Dalam karya ini, Regina mengajak kita untuk merasakan apa yang dialami oleh sang robot melalui sensornya dan mengajak kita untuk merasakan hubungan tak kasat mata yang dapat kita rasakan sejauh apapun jarak memisahkan.
Karya selanjutnya datang dari komponis Lucy Freia dengan judul ‘Drowned’. Karya ini bersifat lebih gelap dari karya sebelumnya karena dalam karyanya, Lucy mengajak kita untuk merasakan sebuah keadaan tanpa hubungan.
Karya ini lahir dari situasi pribadi terkait episode depresi mayor yang semakin dirasakan karena adanya isolasi akibat pandemi. Secara kontradiktif, posisi itu merupakan posisi ternyaman bagi si penderita karena tidak adanya sesuatu yang harus ia pikirkan.
Karya ketiga dibawakan oleh Parchestra dan UNPAR Choir dengan judul “Candaan Pagi #4”. Karya ini digubah oleh tiga orang yaitu Demas A Darmawan sebagai lirikus dan Nathan Budiman serta Nerissa Eva Budiman sebagai komponis.
Karya yang dibawakan secara jenaka ini menceritakan mengenai kenyataan tentang hubungan manusia yang diumpamakan sebagai kehidupan hiu di laut. Manusia saling memberikan keuntungan dan kepuasan, namun juga saling “memakan”.
Selanjutnya, kita diajak untuk mendengar sebuah puisi tanpa judul yang ditulis oleh seorang remaja yang sayangnya menjadi korban penembakan massal di sekolahnya, Rachel Joy Scott.
Karya ini dikomposisi oleh Gavin Wijayanto yang sangat mengagumi kehidupan Rachel Joy Scott yang menurut pandangan Gavin memiliki hati seperti malaikat karena Rachel yang selalu membantu orang-orang yang membutuhkan dan bersahabat dengan seorang tunawisma.
Salah satu puisi Rachel yang dimusikalisasi menjadi sebuah Choir Concerto oleh Gavin menceritakan mengenai makna dan harapan hidup yang pada akhirnya menyimpulkan kehidupannya sendiri. Karya ini diberi judul “Things Untold, Things Unseen”.
Beralih ke karya selanjutnya, kali ini kita diajak untuk menyelami hubungan terkuat antarmanusia yaitu hubungan di antara sepasang kekasih. Karya dengan judul “Moonlight” ini dikomposisi oleh Dave Ai Wise.
Dave menceritakan suasana malam dingin yang menjadi hangat ketika bersama orang terdekat, kekasih.
Dalam karya selanjutnya, kita kembali dihadapi dengan karya yang sedikit gelap yang berjudul “The Shinigami I Call Mother” gubahan Kasih Karunia Indah.
Shinigami sendiri merupakan sosok mitologi Jepang yang dipercaya mengundang orang untuk bunuh diri. Seperti halnya judul karya tersebut, karya Kasih mengajak kita melihat hubungan yang menjadi sumber kegelisahan.
Berangkat dari beberapa pengalaman teman dekat komponis, karya ini menunjukkan hubungan antara ibu dan anak yang kerap kali menjadi hal yang mendorong seseorang untuk mengakhiri hidupnya.
Parchestra kemudian kembali membawakan karya Gavin Wiyanto yang berjudul “The Tale of Two Sisters”. Karyanya kali ini membawakan sebuah kisah persahabatan dan komposisi musik ini dipersembahkan untuk kakak-beradik yang merupakan seorang sahabat dari Gavin, Olivia dan Angie Wiranata.
Karya ini ditulis dengan menggunakan metode kriptografi. Gavin mengonversi nama kedua sahabatnya menjadi nada-nada musik.
Sebagai karya penutup, Parchestra kembali membawakan komposisi dari Regina Sutisno yang berjudul “Urban Wind”.
Regina mengajak kita untuk melakukan sondering atau penyadaran diri bahwa setiap manusia yang kita temui sesungguhnya memiliki kehidupan pribadi yang sama kompleksnya dengan kita.
Regina berusaha menceritakan bahwa setiap orang memiliki rencana, pikiran, dan kekhawatiran mereka sendiri sama seperti kita. (SYA-Humkoler UNPAR)