Belajar Kemandirian Pangan dari Desa

Tak ada salahnya menggali pilihan strategi dalam mengelola sisi penawaran dan permintaan, tak hanya ”food estate”.

UNPAR.AC.ID, Bandung – Tanggal 16 Oktober diperingati sebagai Hari Pangan Sedunia. Setiap kali mengingat hari pangan, isu ketahanan pangan selalu menyeruak. Sampai hari ini, ketahanan pangan, saya kira, masih menjadi pekerjaan yang harus diselesaikan Indonesia.

Berbicara tentang ketahanan pangan, ada dua kampung yang dapat kita jadikan rujukan, yaitu Kampung Ciptagelar dan Kampung adat Cireundeu, keduanya di Provinsi Jawa Barat.

Kampung Ciptagelar terletak di Desa Sirnaresmi, Kabupaten Sukabumi. Berada di lereng Gunung Halimun, dengan ketinggian 1.050 meter di atas permukaan laut (mdpl), Kampung Ciptagelar beriklim sejuk pegunungan. Sebagai kampung adat, warga Kampung Ciptagelar masih memegang teguh tradisi dalam menerapkan sistem pertanian yang telah diwariskan selama berabad-abad.

Berkat strategi tersebut, Kampung Ciptagelar selalu mencapai kemandirian pangan sejak lama. Dengan menerapkan sistem pertanian yang alami, tanpa pupuk dan pestisida kimia, sawah di Ciptagelar mampu menghasilkan hasil 10 ton per hektar, produktivitas yang jauh di atas rata-rata Indonesia.

Dengan memperhatikan keseimbangan ekologis dan demi menjaga kesuburan lahan, petani di Ciptagelar hanya menanam padi sekali dalam setahun. Namun, mereka tak pernah kekurangan beras, bahkan hasil panen, selain dikonsumsi juga ada yang disimpan di lumbung-lumbung padi (mereka menyebutnya leuit) di kampung mereka yang jumlahnya tak kurang dari 11.000 buah.

Situasi itu membuat mereka mampu memenuhi kebutuhan beras bagi 30.000 warganya untuk 95 tahun ke depan. Bukan hanya sistem pertanian ramah secara ekologis yang dipraktikkan dalam menyiapkan pangan, serangkaian ritual juga dilakukan dalam tahap menanam dan panen padi, bahkan ketika hendak menanaknya menjadi nasi.

Kampung Adat Cireundeu adalah contoh kedua untuk sebuah wilayah yang mampu mencapai kemandirian pangan. Secara administratif, Kampung Adat Cireundeu sebetulnya masuk ke dalam wilayah Kota Cimahi. Namun, karena letaknya di kaki Gunung Puncaaksalam di ketinggian 950 mdpl, pun dikelilingi oleh Gunung Kunci, Gunung Cimenteng dan Gunung Gajahlangu, suasana di Kampung Adat Cireundeu lebih menyerupai suasana perdesaan, dengan sebagian besar warganya bermata pencarian sebagai petani.

Salah satu hal unik dari Kampung Adat Cireundeu adalah makanan pokok penduduknya, yaitu beras singkong (mereka menyebutnya rasi), alih-alih beras dari padi. Kebiasaan tersebut sudah dilakukan sejak tahun 1924, berdasarkan pemikiran bahwa tanaman pangan yang dapat tumbuh sangat baik di kampung mereka adalah singkong, karena sebagian besar lahan pertanian di kampung tersebut berupa hutan dan ladang.

Keputusan memilih rasi ketimbang beras diambil demi tercapainya kemerdekaan, bukan hanya secara politis dari Belanda pada waktu itu, melainkan juga merdeka secara ekonomi, termasuk tidak menggantungkan pasokan pangan dari pihak lain.

Sama seperti warga Ciptagelar, petani di Cireundeu juga menerapkan sistem bercocok tanam yang tidak menggunakan pupuk dan pestisida kimia. Bahkan demi menjaga sumber air, warga Kampung Cireundeu menerapkan pembagian wilayah hutan mereka menjadi tiga. Pertama, hutan (leuweung) larangan, wilayah hutan yang tak boleh dieksploitasi. Pohon-pohon di sana tak boleh ditebang demi menjaga fungsi hutan sebagai area penangkap air. Kedua, leuweung tutupan, area hutan yang boleh ditebang pohonnya tetapi untuk setiap pohon yang ditebang harus ditanam penggantinya. Ketiga, leuweungbaladahan, tempat di mana warga membuka hutan menjadi ladang mereka, antara lain menanam singkong, makanan pokok penduduk lokal.

Seperti halnya Ciptagelar, penduduk Kampung Cireundeu tak pernah mengalami kekurangan pangan.

Ada beberapa hal yang dapat dicatat dari Ciptagelar dan Cireundeu. Keduanya sudah mencapai tahap kemandirian pangan, bukan sekadar ketahanan pangan. Mandiri pangan artinya pemenuhan kebutuhan sudah dapat dipenuhi dari pasokan dari wilayah sendiri, tidak perlu mendatangkan dari luar.

Ketahanan pangan lebih menitikberatkan ketersediaan pangan dengan harga terjangkau, yang bisa saja dipenuhi dari impor ketika pasokan pangan domestik tak mampu memenuhi kebutuhan. Sudah pasti status kemandirian pangan lebih mantap dibandingkan dengan ketahanan pangan.

Dalam mencapai kemandirian pangan, baik warga Ciptagelar maupun Cireundeu menerapkan sistem pertanian yang ramah lingkungan, karena tak memakai pupuk dan pestisida kimia sama sekali. Terbukti, hasil yang didapat tak kalah dari sistem pertanian konvensional berbasis revolusi hijau. Bukan hanya dalam hal produktivitas, sistem pertanian yang berwawasan ekologis tidak menimbulkan dampak lingkungan yang selama ini melekat pada sistem pertanian berbasis sarana produksi sintetis.

Terbukti, hasil yang didapat tak kalah dari sistem pertanian konvensional berbasis revolusi hijau.

Saat ini sistem pertanian organik tidak berarti tidak menggunakan teknologi budidaya. Para ahli pertanian sudah banyak mengembangkan benih non-GMO dan berbagai manfaat mikroba untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan. Pertanian organik yang ramah lingkungan dan menghasilkan produk pangan yang aman dan kaya nutrisi tetap dapat dihasilkan dengan produktivitas yang tinggi. Beberapa sudah saya tulis di artikel-artikel saya di kolom ini sebelumnya.

Serangkaian ritual pada saat menanam padi, merawatnya, pada waktu memanen serta memasaknya menjadi nasi, mencerminkan kesungguhan warga Ciptagelar dalam mengelola sektor pangan mereka. Bisa diharapkan dari kesungguhan ini tidak akan menghasilkan sampah makanan, yang menjadi keprihatinan berbagai pihak.

Perubahan jenis makanan pokok dari beras ke rasi di Kampung Adat Cireundeu memperlihatkan bahwa pengelolaan sisi permintaan juga diperlukan dalam mencapai cita-cita kemandirian pangan. Penduduk didorong untuk mengonsumsi pangan yang diperoleh dari hasil penanaman lokal. Penyesuaian selera dibuat alih-alih mendorong kuat sisi penawaran demi terpenuhinya selera permintaan.

Memang kebijakan pemenuhan pangan warga di dua kampung yang saya ceritakan di atas memiliki skala yang kecil, yaitu skala kampung (yang bahkan dari luas wilayah, kampung adalah bagian dari desa/kelurahan), jauh dari masalah pemenuhan pangan untuk seluruh rakyat sebuah negara besar seperti Indonesia. Namun, sikap yang melandasi dan praksis pertanian yang dilakukan dapat diambil sebagai pelajaran.

Demi ketahanan pangan, tak ada salahnya menggali pilihan-pilihan strategi dalam mengelola sisi penawaran dan permintaan, tak hanya terbatas pada strategi pembukaan food estate di beberapa tempat di luar Jawa. Ciptagelar dan Cireundeu memberi bekal dalam menyusun strategi tersebut.

Tulisan tersebut disusun oleh Siwi Nugraheni, Dra., M.Env. (Dosen Fakultas Ekonomi). Merupakan republikasi dan sebelumnya telah dimuat di kompas.id pada 15 Oktober 2024 dengan Judul “Belajar Kemandirian Pangan dari Desa”.

Berita Terkini

UNPAR Lantik 31 Lulusan Program Profesi Insinyur

UNPAR Lantik 31 Lulusan Program Profesi Insinyur

UNPAR.AC.ID, Bandung – Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) melantik 31 lulusan Program Studi Program Profesi Insinyur (PS-PPI) dalam Upacara Wisuda PPI Tahun Akademik 2024/2025. Upacara wisuda yang diselenggarakan di Auditorium Pusat Pembelajaran Arntz-Geise...

Bima Arya Hadiri Wisuda UNPAR, Beri Alumni Inspirational Speech

Bima Arya Hadiri Wisuda UNPAR, Beri Alumni Inspirational Speech

UNPAR.AC.ID, Bandung – Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) berkesempatan menerima kehadiran Wakil Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Dr. Bima Arya Sugiarto, dalam Sesi 1 Wisuda I Tahun Akademik 2024/2025 yang dilaksanakan pada Jumat (9/5/2025). Sebagaimana...

Kontak Media

Humas UNPAR

Kantor Sekretariat Rektorat (KSR), Universitas Katolik Parahyangan

Jln. Ciumbuleuit No. 94 Bandung 40141 Jawa Barat

Okt 30, 2024

X