UNPAR.AC.ID, Bandung – Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) melalui Fakultas Filsafat sukses menggelar acara Peluncuran dan Diskusi Buku bertajuk Kehidupan Masyarakat Tradisional di Jawa Barat. Acara yang terbuka untuk umum dan dihadiri oleh akademisi, mahasiswa, serta peneliti ini menghadirkan sejumlah narasumber berkompeten yang membahas posisi serta tantangan masyarakat adat, khususnya masyarakat Baduy, di tengah arus modernisasi.
Dr. Ade Jaya Suryani, Dosen Hukum Tata Negara dari UIN Maulana Hasanuddin, menjadi keynote speaker dalam acara ini. Dalam pemaparannya, Dr. Ade menyoroti kebijakan pemerintah era Orde Baru terkait program pemukiman kembali masyarakat terasing yang justru berdampak pada terkikisnya identitas budaya masyarakat adat. “Hampir seluruh masyarakat adat yang dikategorikan sebagai masyarakat terasing berhasil dipindahkan, tetapi keberhasilan ini patut dipertanyakan. Banyak dari mereka akhirnya kehilangan keyakinan dan tradisinya,” ungkapnya.
Dr. Ade menekankan ketahanan unik masyarakat Baduy yang memilih bertahan meskipun menghadapi tekanan serupa. “Ketika program pemukiman kembali diterapkan, banyak dari mereka yang memilih untuk kembali ke kampung asal. Mereka tidak mampu menyesuaikan diri dengan kehidupan baru yang ditawarkan. Hal ini menunjukkan kekuatan mekanisme internal yang dimiliki oleh masyarakat Baduy,” jelasnya.
Dalam sesi diskusi yang dimoderatori oleh Andreas Doweng Bolo, Dosen Filsafat UNPAR, RD. Dr. Alfonsus Sutarno, Dosen Filsafat UNPAR, memberikan pandangan filosofis terkait peran masyarakat adat di tengah modernisasi. “Dalam konteks kebangsaan, kita perlu bertanya ulang: Apa sebenarnya makna menjadi seorang Baduy? Tradisionalitas yang mereka pertahankan sebenarnya menawarkan cara pandang yang relevan untuk menilai perkembangan dunia modern,” tuturnya.
Dr. Tristam P. Moeliono, Dosen Hukum UNPAR sekaligus penerjemah buku, turut mengkritisi pendekatan hukum terhadap masyarakat adat. Menurutnya, konsep masyarakat hukum adat di Indonesia masih bersifat kaku dan tidak sesuai dengan realitas yang dinamis. “Eksploitasi sumber daya alam sering kali menjadi faktor utama yang menyebabkan hilangnya identitas masyarakat adat. Tidak perlu ada niat untuk memusnahkan. Cukup ambil hutan mereka, maka identitas mereka pun perlahan akan hilang,” ujarnya.
Lebih lanjut, Dr. Tristam juga menyoroti fenomena modernitas yang mulai merambah kehidupan masyarakat Baduy. “Saat ini, kita melihat anak-anak Baduy sudah mulai menonton YouTube dan beberapa tokoh Baduy memiliki telepon genggam. Bahkan ada di antara mereka yang memiliki sepeda motor atau mobil, meskipun dititipkan kepada kerabat mereka. Relaksasi semacam ini menimbulkan pertanyaan: Apakah identitas mereka sebagai Baduy akan tetap bertahan atau justru mengalami pergeseran mendasar?” tambahnya.
Pandangan antropologis disampaikan oleh Dr. Selly Riawanti, Dosen Antropologi Universitas Padjadjaran. Dr. Selly menegaskan bahwa kebijakan negara yang tidak mengakui kepercayaan masyarakat adat telah menyebabkan mereka berpindah agama demi memperoleh pengakuan sebagai warga negara. “Ini bukan sekadar persoalan keyakinan pribadi, tetapi juga soal perlindungan negara terhadap hak-hak dasar masyarakat adat. Jika kepercayaan mereka diabaikan, maka identitas mereka sebagai masyarakat adat pun terancam,” ujarnya.
Niduaras Erlang, mahasiswa S3 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, menambahkan bahwa masyarakat adat tidak hanya sekadar mempertahankan tradisi, tetapi juga menawarkan cara pandang alternatif terhadap kehidupan modern. “Pengetahuan yang mereka miliki adalah warisan yang berharga. Ini bukan hanya tentang mempertahankan tradisi, tetapi juga tentang bagaimana kita memahami keragaman cara pandang dalam melihat dunia,” ungkapnya.
Diskusi semakin mendalam ketika Dr. Ade Jaya Suryani kembali menekankan bahwa ketahanan masyarakat Baduy patut diapresiasi sebagai bentuk perlawanan kultural. “Mereka memiliki mekanisme ritual penyucian yang menjaga keutuhan komunitas. Ini bukan sekadar tradisi, tetapi juga fondasi keyakinan yang menjadi identitas mereka,” ujarnya. Ia juga mengkritik kebijakan pemerintah yang belum sepenuhnya mengakui keberadaan kepercayaan masyarakat adat. “Ironis ketika kolom kepercayaan di KTP hanya diisi dengan ‘kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa’ tanpa menyebutkan nama kepercayaan itu. Padahal, kepercayaan seperti Sunda Wiwitan atau Kaharingan seharusnya mendapat pengakuan yang lebih jelas,” tegasnya.
Sebagai penutup, Dr. Tristam P. Moeliono menekankan pentingnya pendekatan hukum yang lebih inklusif dan berpihak kepada masyarakat adat. “Kita membutuhkan kerangka hukum yang mampu memahami dan melindungi dinamika masyarakat adat secara lebih adil dan komprehensif,” ujarnya. Sementara itu, Andreas Doweng Bolo menutup sesi dengan ajakan reflektif, “Diskusi ini mengingatkan kita bahwa perjuangan untuk melestarikan identitas masyarakat adat harus terus berlanjut melalui cara-cara yang inklusif dan berkelanjutan.”
Acara ini ditutup dengan penyerahan sertifikat kepada para narasumber dan sesi foto bersama, diikuti dengan ramah tamah serta makan siang. Melalui kegiatan ini, UNPAR kembali menegaskan komitmennya dalam memberikan ruang bagi diskusi akademis yang relevan dan mendalam. Seperti yang disampaikan Dr. Ade, “Kadang kita merasa pesimis, kadang optimis. Namun, satu hal yang pasti adalah kita harus terus berjuang dengan cara kita masing-masing.” (NAT-Humas UNPAR)