UNPAR.AC.ID, Bandung – Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif berbahaya lainnya atau yang dikenal dengan sebutan Narkoba merupakan zat yang bekerja pada neurotransmitter di otak. Meskipun digunakan di dunia medis, nyatanya zat ini seringkali disalahgunakan hingga menimbulkan berbagai dampak buruk seperti perubahan perilaku, perasaan, pikiran, dan bahkan ketergantungan/adiksi.
Hal tersebut mengemuka dalam Seminar Hari Anti Narkoba yang diselenggarakan pada Rabu (10/7/2024). Seminar yang dilaksanakan di Ruang Multifungsi Pusat Pembelajaran Arntz Geise (PPAG) Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) tersebut turut mengundang beberapa narasumber, antara lain: Apt. Yohanes Eko Ariyanto, S.Si., M.Si. dari Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Jawa Barat, Dr. Truly Sitorus, M.Si., SpFK selaku dosen dari Fakultas Kedokteran UNPAR, Dewiyani, S.Psi., Psik., serta Yayasan Sekar Mawar.
Dari perspektif medis, dr. Truly Sitorus, M.Si., SpFK menjelaskan bahwa adiksi narkoba sendiri diawali dengan proses toleransi dan habituasi. Tahap toleransi sendiri akan ditandai dengan peningkatan dosis penggunaan. Di sisi lain, tahap habituasi dapat terlihat akan tampak dari keinginan seseorang untuk terus menggunakan zat berbahaya tersebut. Hasilnya, efek merugikan pun akan perlahan muncul pada tahap habituasi.
“Habituasi itu ketergantungan psikis. Untuk tahap adiksi, bukan hanya psikis saja tetapi ada fisik juga yang terganggu,” ucap dirinya.
Selain itu, dr. Truly menyatakan bahwa dampak negatif dari kecanduan tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga oleh masyarakat luas. Namun, perlu diingat juga bahwa penghentian narkoba secara mendadak dapat menyebabkan reaksi putus obat atau sakau.
“Sakau ini terjadi karena penggunaan narkoba berulang sehingga reseptor beradaptasi dengan mengurangi diri. Jadi, para pecandu narkoba memiliki reseptor lebih sedikit,” tutur dr. Truly.
Di sisi lain, Dewiyani dari perspektif psikologis turut menjelaskan bahwa penyebab kecanduan yang paling utama adalah ketidakseimbangan yang dirasakan oleh tubuh dan jiwa. Dalam upaya untuk mengatasi ketidakseimbangan tersebut, tubuh secara otomatis akan mencari cara untuk kembali merasa nyaman. Dirinya juga turut menyampaikan bahwa kecanduan tidak hanya terjadi pada zat adiktif, namun juga hal sederhana seperti bermain games, makanan, kegiatan, perilaku, dan lainnya.
“Ketika seseorang merasa tidak nyaman, otomatis dia akan mencari kenyamanan. Ketika seseorang merasa kedinginan, kita akan mencari kehangatan. Pola tersebut sama dengan jiwa kita. Ketika kita mengalami ketegangan, otomatis kita mencari sesuatu yang membuat rileks,” ujar Dewiyani.
Dirinya juga menyampaikan bahwa kecanduan rentan dialami oleh remaja dan dewasa awal. Umumnya, kecanduan sendiri terjadi ketika masa puber dan masa kritis di setiap fase perkembangan khususnya bagi mereka yang berada di lingkungan yang tidak mendukung atau toxic. Namun, kecanduan pun dapat terjadi bahkan di lingkungan yang justru kita percayai atau dekat dengan kita.
Lebih lanjut, Dewiyani menawarkan beberapa solusi yang dapat dilakukan, seperti: mencari alternatif cara ketika berupaya menyeimbangkan rasa tidak nyaman dalam diri sendiri; menghindari lingkungan yang tidak mendukung; dan menemukan sumber masalah dan mencari bantuan sehingga masalah lebih mudah diatasi.
“Kalau kalian tidak bisa menarik diri sendiri, carilah bantuan orang lain untuk menarik Anda keluar dari situ,” (KTH-Humas UNPAR)