Akademisi UNPAR Dorong Akuntabilitas Hukum dalam RUU Polri

UNPAR.AC.ID, Bandung – Diskusi publik bertajuk “Masalah Kewenangan Penyidikan dalam RUU Polri dan Rekomendasi Perbaikan dalam RUU KUHAP”  yang diselenggarakan oleh Institute Criminal Justice Reform pada Senin (26/08/2024) telah memicu perhatian banyak pihak. Dalam acara ini, sejumlah narasumber mengemukakan pandangan mereka mengenai apakah RUU Polri akan memperkuat akuntabilitas atau justru hanya menambah kewenangan kepolisian. Acara ini dihadiri oleh Arif Maulana, Wakil Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Ihsan Kurniawan yang merupakan Direktur Eksekutif Revisi, serta Nefa Claudia Meliala, S.H., M.H., akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan.

Dalam pemaparannya, Arif Maulana menegaskan bahwa revisi RUU Polri harus fokus pada peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam proses penyidikan. Dia menyatakan, “Ketika penyidikannya bermasalah, ini akan berdampak pada proses penegakan hukum pidana yang juga bermasalah.”

Arif juga mengutip data dari YLBHI yang menunjukkan terdapat 102 kasus kekerasan dan penyiksaan dengan 1.088 korban antara tahun 2019 hingga 2021. Dia berpendapat, “Data ini menunjukkan betapa pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses penyidikan.”

Ihsan Kurniawan, dari Revisi, menambahkan bahwa perluasan kewenangan Polri dalam RUU Polri justru bisa membawa dampak negatif jika tidak dibarengi dengan pengawasan yang memadai. Dia mengkritik perlunya koordinasi dan pengawasan oleh Polri terhadap Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan penyidik lainnya.

Ihsan berpendapat, “Koordinasi dan pengawasan terhadap penyidik PPNS oleh Polri sebenarnya tidak lagi relevan karena banyak penyidik PPNS yang sudah bisa mandiri dalam melaksanakan tugasnya.”

Menurut Ihsan, penambahan kewenangan ini hanya akan menambah beban kerja Polri dan berpotensi menyebabkan inefisiensi.

Nefa Claudia kemudian menyoroti perlunya kejelasan dalam membedakan antara penyelidikan dan penyidikan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.

Nefa menjelaskan, “Ketika sudah masuk dalam konteks penyidikan, konsekuensi logisnya adalah adanya kewenangan-kewenangan untuk melakukan upaya paksa, yang hanya bisa dilakukan di bawah mekanisme pengawasan yang ketat.”

Ia menekankan bahwa penerapan prinsip-prinsip seperti due process of law sangat penting dan harus menjadi prioritas utama dalam revisi RUU Polri ini. Ia juga menyarankan agar kebijakan yang diambil harus berbasis bukti untuk menghindari kesalahan dalam penegakan hukum.

“Data yang dikumpulkan oleh lembaga seperti Komnas HAM dan Kontras menunjukkan bahwa tren kekerasan oleh aparat kepolisian masih tinggi,” jelasnya. Hal ini menegaskan pentingnya standar operasional yang jelas dan kebijakan berbasis bukti dalam melindungi hak asasi manusia.

Namun demikian, Nefa juga mencatat bahwa revisi RUU Polri perlu disinkronkan dengan RUU KUHAP agar terdapat harmoni dalam sistem hukum pidana di Indonesia. 

Dia berpendapat, “KUHAP harus menjadi payung hukum yang memandu semua peraturan lainnya terkait hukum pidana. Dengan demikian, setiap upaya paksa, seperti penyitaan atau penangkapan, harus sesuai dengan prinsip hukum yang adil.”

Ia mengingatkan bahwa akuntabilitas bukan hanya soal penambahan kewenangan tetapi juga penguatan mekanisme pengawasan. Menurutnya, “RUU Polri harus lebih menekankan pada penguatan mekanisme pengawasan, baik secara internal maupun eksternal, untuk menjaga akuntabilitas dan profesionalisme Polri.”

Dengan demikian, diskusi ini menunjukkan bahwa ada kebutuhan mendesak untuk merevisi kebijakan terkait penyidikan dalam RUU Polri dengan fokus pada akuntabilitas dan sinkronisasi dengan hukum acara pidana yang ada. Semua narasumber sepakat bahwa upaya ini harus dilakukan dengan hati-hati, menekankan pentingnya perlindungan hak asasi manusia dan profesionalisme dalam penegakan hukum. Partisipasi masyarakat dalam pembahasan RUU Polri ini menjadi sangat penting karena memiliki dampak yang signifikan terhadap sistem peradilan di Indonesia. (NAT-Humas UNPAR)

Berita Terkini

Tracy Tardia Terpilih Menjadi Ketua IKA UNPAR Periode 2024-2027

Tracy Tardia Terpilih Menjadi Ketua IKA UNPAR Periode 2024-2027

UNPAR.AC.ID, Bandung - Tracy Tardia terpilih menjadi Ketua Ikatan Alumni Universitas Katolik Parahyangan (IKA UNPAR) periode 2024-2027 secara aklamasi pada Kongres VII IKA UNPAR, Sabtu (7/9/2024) lalu. Alumni Manajemen UNPAR itu mengungkapkan bahwa di era...

UNPAR Resmi Terima SK Penyatuan STKIP Surya

UNPAR Resmi Terima SK Penyatuan STKIP Surya

UNPAR.AC.ID, Bandung – Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Surya resmi bersatu ke Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR). Izin penyatuan tersebut diterima Anggota Pengurus Yayasan UNPAR lr. lwan Supriadi dan Rektor UNPAR Prof. Tri Basuki Joewono dari...

Kontak Media

Humas UNPAR

Kantor Sekretariat Rektorat (KSR), Universitas Katolik Parahyangan

Jln. Ciumbuleuit No. 94 Bandung 40141 Jawa Barat

Agu 29, 2024

X