4 Kampus Hukum Dorong Pemerintah Libatkan Masyarakat dalam Pembaruan KUHP

UNPAR.AC.ID, Bandung – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) “Pengayoman” Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) mendorong pemerintah agar dalam pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pembentuk Rancangan KUHP (RKUHP) tidak bisa menggunakan pendekatan dari aspek legalitas formal saja, tetapi juga menggunakan pendekatan filsafat, sosial, ekonomi/bisnis, krimonologi, viktimologi, psikologi/psikiatrik, kesehatan masyarakat, dan sebagainya. Pernyataan sikap tersebut dilakukan bersama Pusat Studi Kebijakan Kriminal Universitas Padjajaran, Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana (PERSADA) Universitas Brawijaya, dan Bidang Studi Hukum Pidana Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera terhadap proses pembentukan dan pembahsan RKUHP Naskah 2019.

Dorongan tersebut diberikan karena keempat kampus hukum tersebut melihat bahwa RKUHP akan berlaku untuk seluruh masyarakat Indonesia. Maka sudah semestinya pembahasan RKHUP bersifat inklusif dan melibatkan kalangan yang lebih luas, khususnya kelompok rentan dan paling terdampak dari pemberlakuan RKUHP tersebut. Dalam hal ini, RKUHP dinilai masih memiliki beberapa kekurangan yang bersifat fundamental dan justru kontraproduktif dengan tujuan awal pembentukannya, yakni semangat untuk melakukan dekolonialisasi, harmonisasi, humanisasi, dan demokratisasi hukum pidana.

Pernyataan sikap tersebut merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Konsultasi Nasional Pembaruan KUHP 2021 yang telah berlangsung sejak Kamis (27/5/2021) hingga Sabtu (29/5/2021) ini. Empat perguruan tinggi yang tergabung dalam Penyelenggara Konsultasi Nasional Pembaruan KUHP 2021 itu pun menyatakan sikap bahwa Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber hukum tertinggi harus menjadi patokan dasar dalam pembaruan KUHP. Rancangan KUHP tidak boleh bertentangan dengan semangat konstitusi, terkhusus pada aturan-aturan pidana yang telah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi negara Republik Indonesia.

Selanjutnya, pembentuk undang-undang, dalam pembaruan KUHP, harus memperhatikan hak asasi manusia (HAM) yang dijamin dalam UUD 1945 serta menetapkan kebijakan pembatasan HAM dengan yang terjustifikasi berdasarkan standar-standar HAM. Lebih lanjut, asas legalitas merupakan asas pertama dan utama dalam hukum pidana yang bertujuan memastikan tidak ada peluang kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh Negara, sehingga pengaturan yang tidak jelas sebaiknya dikaji ulang. Secara khusus, perlu untuk memastikan ‘Hukum yang hidup dalam masyarakat’ tidak bertentangan dengan asas legalitas, konsep HAM, baik yang telah tertuang dalam Konstitusi maupun Putusan MK, dan berpotensi melanggar (diskriminatif) terhadap keberadaan masyarakat adat.

Masalah RKUHP bukan hanya terdapat dalam Buku II. Buku I RKUHP pun menyisakan persoalan yang besar, kompleks dan inkonsisten dengan tujuan pemidanaan dalam RKUHP itu sendiri. Penyusunan norma pemidanaan ditemukan masih belum sistematis sehingga diperlukan penyusunan kembali dengan melihat pada perubahan-perubahan yang dilakukan oleh penyusun RKUHP sendiri.

Perlu dipikirkan kembali, penormaan asas terkait dalam pasal-pasal yang mengatur pedoman pemidanaan, apakah sebaiknya ditempatkan di dalam Buku I RKUHP atau karena sifatnya yang sangat teknis, sehingga lebih baik diatur secara khusus di luar RKUHP.

Pengaturan proteksi bagi warga masih lebih rendah dibandingkan dengan kriminalisasi yang dirumuskan dalam RKUHP. Beberapa ketentuan RKUHP justru mengancam demokrasi, khususnya kebebasan sipil. Oleh karena itu, harus dilakukan pembahasan ulang terhadap pasal-pasal yang berpotensi menimbulkan tafsir berlebih dan menghapus ketentuan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai HAM. Pengaturan RKUHP yang dirumuskan oleh Negara harus mampu menyeimbangan kepentingan pencegahan dan pemberantasan kejahatan yang komprehensif dengan kepentingan perlindungan HAM. dengan tidak berorientasi pada penghukuman sebagai satu-satunya jalan keluar dari problem kriminalitas di Indonesia.

Kewajiban pelibatan partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan  seharusnya dimaknai menjadi dua hal, yakni hak untuk didengar (right to be heard) dan hak untuk dipertimbangkan (right to be considered). Pemerintah dan DPR harus memastikan partisipasi masyarakat dalam penyusunan RKUHP diakomodasi sebagai pertimbangan yang serius agar RKUHP memperoleh legitimasinya dengan baik.

Pemerintah dan DPR harus mengantisipasi berbagai perubahan dan penyesuaian terkait substansi RKUHP yang berhasil disusun hingga saat ini untuk menyempurnakan pembaruan hukum pidana Indonesia. Maka, pedoman kodifikasi harus disusun dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, utamanya untuk menjaga nilai keseriusan tindak pidana dan berat-ringannya hukuman. RKUHP harus dirujuk sebagai pedoman utama dalam pembentukan ketentuan pidana agar perkembangan dan pertumbuhan aturan-aturan pidana terjaga dalam kerangka kodifikasi yang tetap.

Pembaruan di RKUHP harus diselaraskan dengan perubahan pada sisi hukum acara pidana. Sudah terlalu banyak inisiatif baik dalam undang-undang yang tidak bisa berjalan karena perumusan hukum acara pidana yang tidak sempurna. Pemerintah perlu memikirkan secara utuh hal-hal tersebut hingga level yang paling teknis sekalipun agar pembaruan yang diharapkan bisa berjalan dengan baik.

Rekomendasi Pembaruan

Maka dari itu, LBH Pengayoman UNPAR bersama tiga kampus hukum lainnya merekomendasikan agar Pemerintah Indonesia untuk mengambil beberapa langkah, di antaranya adalah pemerintah harus memahami dan mengimplementasikan politik hukum penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang telah tercantum dalam konstitusi maupun putusan yang telah dibangun oleh Mahkamah Konstitusi.

Rekomendasi selanjutnya, hukum positif dan hukum yang hidup dalam masyarakat tidak perlu dipertentangkan oleh Negara, namun justru harus diintegrasikan ke dalam tata hukum yang baru.

Dalam pembaruan KUHP, pembentuk RKUHP tidak bisa menggunakan pendekatan dari aspek legal formal saja, tapi juga harus menggunakan pendekatan filsafat, sosial, ekonomi/bisnis, kriminologi, viktimologi, psikologi/psikiatrik, kesehatan masyarakat, pemasyarakatan dan sebagainya. Karena RKUHP akan berlaku untuk seluruh masyarakat Indonesia, maka sudah semestinya pembahasan RKUHP bersifat inklusif dan melibatkan kalangan yang lebih luas, khususnya kelompok masyarakat yang rentan dan paling terdampak dari pemberlakuan RKUHP tersebut.

Selain itu, kajian dan evaluasi terhadap penormaan asas pidana, pedoman pemidanaan dan alternatif pemidanaan yang sesuai dengan tujuan pemidanaan untuk memperkuat konsep keadilan restoratif dan pemasyarakatan adalah hal yang mutlak dan penting untuk dilakukan. Serta mempersiapkan hal-hal teknis maupun peraturan pelaksana RKUHP, termasuk melakukan Revisi terhadap Undang-undang No.12 Tahun 2001 jo. Undang-Undang No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan mempertimbangkan ulang hal-hal yang tidak logis untuk dijalankan agar rekodifikasi yang telah dilakukan tidak sia-sia. (Ira Veratika SN-Humkoler UNPAR)

Berita Terkini

Rektor UNPAR Hadiri Panel Diskusi Bersama Presiden RI Prabowo Subianto

Rektor UNPAR Hadiri Panel Diskusi Bersama Presiden RI Prabowo Subianto

UNPAR.AC.ID, Bandung – Rektor UNPAR Prof. ir. Tri Basuki Joewono, Ph.D. menghadiri panel diskusi bersama Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto, di Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (13/3/2025). Melansir laman resmi Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat...

Kontak Media

Humas UNPAR

Kantor Sekretariat Rektorat (KSR), Universitas Katolik Parahyangan

Jln. Ciumbuleuit No. 94 Bandung 40141 Jawa Barat

Mei 29, 2021

X