Oleh: Putu Agung Nara Indra Prima Satya, S.IP., M.Sc. (Dosen Ilmu Hubungan Internasional Unpar)
Kerusuhan yang diletupkan para loyalis Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada 6 Januari 2021 memberi efek yang besar bagi negara ini. Untuk pertama kalinya, proses transisi kekuasaan di negara yang mengklaim sebagai panutan demokrasi dunia itu berlangsung ricuh. Hal ini menarik karena masyarakat AS sangat membanggakan sistem pemilu mereka yang rumit tetapi memiliki tingkat legitimasi yang sangat tinggi. Secara garis besar, transisi kekuasaan di AS, seberapapun kontroversialnya, selalu berjalan dengan damai.
Hanya saja dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, terdapat beberapa momen di mana pemilu berakhir dengan kontroversial. Uniknya, momen-momen tersebut selalu melibatkan calon presiden dari Partai Republik yang tetap memenangkan pemilu meskipun tidak meraih suara mayoritas. Peristiwa pertama terjadi pada Pemilu AS 2000 antara George W. Bush (Republikan) vs Al Gore (Demokrat). Kehebohan terjadi ketika penghitungan suara di negara bagian Florida harus diulang atas perintah Supreme Court dan akhirnya dimenangkan oleh calon dari Republikan. Peristiwa ini bahkan menjadi bahan olok-olok ketika Robert Mugabe- diktator asal Zimbabwe— sampai menawarkan untuk mengirimkan pengamat pemilunya demi membantu AS.
Peristiwa kedua terjadi pada Pemilu 2016 yang mempertemukan Donald Trump melawan Hillary Clinton. Pada pemilu yang dianggap paling brutal dalam sejarah AS, seiring dengan mobilisasi politik identitas dan kebencian rasial yang masif, Trump sukses menundukkan Clinton yang lebih dijagokan oleh berbagai lembaga survei.
Puncaknya, pada Pemilu 2020, Presiden Trump yang kalah telak dari segi electoral vote dan popular vote menolak untuk mengakui kekalahan dan balik menuduh Partai Demokrat melakukan kecurangan berskala besar untuk merampok kemenangannya. Efeknya, para loyalis Trump yang tersulut emosinya akhirnya menyerbu Capitol Hill untuk menggagalkan pengesahan kemenangan presiden terpilih Joe Biden.
Demokrasi yang tercoreng
Dalam kerangka konsep politik, peristiwa penyerbuan Capitol Hill ini merupakan bentuk paling nyata dari metode populisme yang dilakukan oleh Trump beserta para elite konservatif pendukungnya. Populisme diartikan sebagai sebuah tindakan politik di mana seorang pemimpin berusaha memperoleh akses langsung terhadap para pendukungnya tanpa melalui institusi-institusi politik formal seperti partai politik. Sebagai gantinya, pemimpin populis selalu membutuhkan saluran komunikasi yang bersifat interaktif.
Jika pemimpin-pemimpin populis jaman dahulu memanfaatkan pidato-pidato publik dan pengerahan massa untuk mencapai hal tersebut, di masa kini semuanya telah bersalin rupa ke dalam media sosial. Trump dengan jeli memanfaatkan ini seiring dengan aktivitasnya membagikan cuitan-cuitan berbau agresif termasuk provokasi untuk melakukan protes di Capitol Hill.
Kekerasan yang berlangsung di Capitol Hill merupakan tamparan telak bagi sistem demokrasi di AS. Hal ini berujung kepada satu kontradiksi; mengapa masyarakat AS yang begitu bangga dengan demokrasinya sampai melakukan tindakan-tindakan anti-demokrasi seperti itu?
Para pendukung Trump mengklaim bahwa mereka justru tengah memperbaiki demokrasi di AS. Mereka berusaha merebut kembali suara mereka yang dicurangi oleh para politisi yang bercokol dalam sistem demokrasi elitis. Terlepas dari klaim demokratisnya, sistem politik AS merupakan sistem yang tertutup dan tidak bisa dimasuki oleh sembarang individu. Dalam situasi tersebut, Presiden Trump menampilkan dirinya sebagai simbol dari pemimpin yang sukses menembus elitisme tersebut dan menjadi penyambung lidah warga kulit putih AS.
Oleh para pendukungnya, Trump tidak lagi dipandang sebagai presiden, pengusaha atau seorang Republikan semata. Ia telah menjelma menjadi simbol pengakuan terhadap kebangkitan kembali golongan kulit putih konservatif dan fundamentalis Kristen di negara ini. Selama ini kelompok kulit putih konservatif telah kehilangan privilese dan dominasinya dalam berbagai bidang kehidupan. Mereka harus berbagi ‘kue’ dengan golongan kulit berwarna sekaligus imigran-imigran yang berdatangan ke AS. Bagian ‘kue’ mereka menipis meskipun posisi mayoritas masih mereka pegang.
Sebagai seorang populis, Trump sangat jeli dalam memanfaatkan perasaan kalah ini. Melalui retorika-retorika yang provokatif, Trump berhasil memancing emosi sekaligus euforia massa untuk bergerak memperjuangkan agenda-agendanya. Mobilisasi massa berbasiskan emosi dan kebencian yang ditunjukkan dalam penyerangan Capitol Hill, kendati sangat bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi liberal AS yang menitikberatkan pada rasionalitas, perdebatan publik yang konstruktif, dan yang terpenting, perdamaian. Amerika Serikat, ironisnya, kini telah menjadi zona yang berbahaya bagi demokrasi.
Terkait hal ini, Presiden AS pada masa Perang Dunia I, Woodrow Wilson, menyatakan bahwa AS berkewajiban untuk ‘menciptakan dunia yang bersahabat untuk demokrasi’. Ironisnya, jika saat ini AS sendiri tidak aman bagi demokrasi, bagaimana negara ini mampu menjalankan tugas tersebut?
Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/377748/populisme-trump-dan-pudarnya-demokrasi-ala-amerika