Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) kembali mengadakan International Student Conference on Global Citizenship 2018. Konferensi internasional yang diadakan sejak 2013 tersebut, secara rutin diadakan setiap tahunnya. Kali ini, ISC 2018 mengangkat tema Climate Change, A Global Warning. Kegiatan tersebut diadakan pada 14-21 Januari lalu di Aroma’s Hotel Legian Bali, serta sejumlah venue lainnya di Bali.
Para peserta berasal dari negara-negara seperti Jepang, Swedia, Spanyol, Amerika Serikat, Afrika Selatan, Kenya, Pakistan, Jerman, dan universitas rekanan Unpar yakni universitas-universitas anggota Internasional Network University (INU) seperti James Madison University, Hiroshima University, Viadrina European University, dan Malmö University. Jumlah peserta yang berpartisipasi dalam ISC 2018 yakni 78 orang yang terdiri dari 31 partisipan lokal (Unpar) dan 47 orang partisipan internasional. Sebelumnya, para partisipan telah mengikuti registrasi di tahun 2017. Aplikasi bagi partisipan lokal dibuka hingga 15 September 2017 dan 1 November 2017, untuk partisipan internasional.
Ditemui tim Publikasi Unpar, Fiona Ekaristi Putri, S.IP, MM salah satu supervisor ISC mengatakan, tahun ini Unpar bekerjasama dengan Universitas Dhyana Pura, Bali dalam penyelenggaraan ISC yang berlangsung selama kurang lebih satu minggu. Selain mengirimkan dua orang mahasiswanya, pihak Universitas Dhyana Pura juga merekomendasikan fasilitator workshop ISC dari Universitas Udayana.
“Kita partnering sama Universitas Dhyana Pura di Bali. Jadi mereka juga mengirimkan dua orang partisipan untuk ikutan. Sama mereka juga merekomendasikan untuk fasilitator workshop yang terakhir, itu dari Udayana, tapi hasil rekomendasi dari Dhyana Pura University,” ungkapnya.
Ketika ditanya mengapa memilih tema “Climate Change, A Global Warning”, Fiona yang akrab disapa Mbak Pipin mengatakan bahwa perubahan iklim sudah tidak bisa ditoleransi lagi dan seharusnya mendapat perhatian penuh dari komunitas global. Dampak climate change sungguh terasa. Tidak hanya bagi manusia, namun bagi biodiversity, hewan, tumbuhan, coral reefs, dan lainnya. Pembahasan tema tersebut diharapkan dapat meningkatkan awareness terhadap bagaimana sikap warga global menghadapi ancaman perubahan iklim.
Mengapa Bali?
“Kita pilih di Bali kenapa? Karena memang kalo diliat di Indonesia, daerah yang sangat menerima dampak langsung dari climate change itu Bali,” jelas Mbak Pipin. Walaupun demikian, imbuhnya, ada banyak daerah pesisir di Indonesia. Bali dipilih karena aspek turismenya tinggi sehingga mendapat dampak yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah lainnya di Indonesia.
Beliau menyebutkan, sarana dan prasarana di Bali juga sangat mendukung pelaksanaan kegiatan internasional. Selain itu, Unpar memiliki sejumlah rekanan yang mendukung jalannya konferensi tersebut. Mereka memiliki concern di bidang mitigasi dan adaptasi climate change. “Termasuk alumni sama NGO yang Bali-based, kebun organik Bedugul. Kan semua ada di situ,” katanya.
Meskipun demikian, ia mengungkapkan, tim panitia sempat mengalami kendala ketika melakukan survei ke Bali. Peringatan awas hingga meletusnya Gunung Agung di bulan Desember tahun lalu, sempat membuat sejumlah peserta membatalkan keikutsertaannya. Beruntungnya, imbuh Mbak Pipin, jarak antara venue konferensi dan Gunung Agung cukup jauh, yakni 90 km sehingga para peserta merasa aman dan optimis untuk menghadiri konferensi tersebut. Ia mengungkapkan, kendala tersebut dapat diatasi dengan baik hingga penyelenggaraan kegiatan dapat berlangsung dengan baik.
Dari workshop, field trip, hingga tur budaya
Pihak panitia mengundang dua orang keynote speakers, yaitu Assoc. Prof. Stephen B. Rothman (Ritsumeikan Asia Pacific University Jepang) dan Dr. Yulius Hermawan Purwadi (Dosen HI Unpar). Selama konferensi berlangsung, para peserta membahas topik mengenai perubahan iklim dari berbagai aspek, interdisiplinary studies. Materi keynote lecture yang disampaikan oleh Dr. Yulius (Mas Pur) berfokus pada bahasan bahwa ancaman perubahan iklim itu nyata dan bagaimana repositioning climate change di masa kini. Dalam keynote lecture kedua yang dibawakan oleh Assoc. Prof. Rothman, dibahas mengenai human aspects. Sifat-sifat manusia atau perilaku manusia seperti apa saja yang menyebabkan climate change.
Dalam workshops yang mana tahun ini terdapat enam sesi dengan enam fasilitator, dibahas ragam topik terkait, seperti aspek hukum tentang climate change, aspek sosial-ekonomi, dampak climate change terhadap turisme, global partnership, human resilience, serta dampak perubahan iklim terhadap biodiversity.
Selain keynote lectures dan workshops, ISC 2018 juga menyuguhkan short course tentang mitigasi dan adaptasi climate change. Mbak Pipin mengatakan, tim panitia mengundang dua kakak-beradik pendiri Bye-Bye Plastic Bags, sebuah NGO di Bali yang memiliki fokus program pada pengurangan penggunaan kantong plastik. Sebelumnya, kedua remaja itu pernah diundang dalam acara Ted Talks. Kursus singkat juga diberikan oleh Reef Check Foundation NGO di Bali. Para partisipan diberikan penjelasan tentang adaptasi terhadap climate change melalui coral reef monitoring. “Kurang lebih seperti itu. Itu yang kita berikan kepada para peserta di luar kegiatan yang lain seperti kegiatan praktik, kunjungan lapangan, sama kegiatan budayanya. Site-visit (juga),” ia menjelaskan.
Dua tempat yang menjadi tujuan field trip ISC 2018, yaitu Amet Beach dan Bedugul Organic Farm. Partisipan berkesempatan untuk melakukan coral reef monitoring (snorkling) di Amet Beach yang dibimbing langsung oleh fasilitator dari Reef Check Foundation. “Jadi mereka betul-betul bisa mengamati kerusakan terumbu karang akibat climate change itu seperti apa sih. Apa sih bedanya kerusakan terumbu karang akibat climate change sama kerusakan terumbu karang akibat perbuatan manusia,” ungkap Mbak Pipin yang merupakan dosen Prodi Administrasi Bisnis FISIP Unpar. Selain itu, peserta juga mengunjungi Bedugul Organic Farm untuk belajar bagaimana penerapan adaptasi climate change melalui kebun organik. Untuk tur budaya, para peserta mengunjungi Candi Ulundanu dan Pura Tirta Gangga.
Di akhir kegiatan ISC 2018, para peserta melakukan presentasi poster sebagai simulasi, juga sesi sharing mengenai apa saja yang diperoleh selama konferensi. Dipilih satu poster terbaik yang nantinya akan dimuat di media ISC serta akan digunakan untuk materi kampanye climate change.
ISC 2019
Saat ini, para supervisor ISC tengah menggarap konsep penyelenggaraan ISC di tahun 2019. Ia berharap, ke depan dosen-dosen Unpar dari beragam program studi dapat terlibat dalam persiapan dan pelaksanaan kegiatan ISC.
Begitu pula dengan mahasiswa, Mbak Pipin mendorong mahasiswa Unpar dari semua disiplin ilmu untuk terlibat. “Karena setiap tahun, tema ISC itu kan selalu dipilih yang interdisiplin. Jadi, bisa diikuti oleh semua partisipan,” jelasnya. Tidak dapat dipungkiri, kemampuan bahasa Inggris menjadi modal penting dalam konferensi internasional. Namun demikian, ungkapnya, tidak perlu merasa takut, karena kita semua (para peserta, tim penyelenggara), juga belajar bersama-sama. “Yang penting fully commited aja. Yang penting pas hari H-nya berani menyampaikan pendapat aja yang logis. Berani untuk berinteraksi sama partisipan international participant-nya juga,” katanya penuh semangat.
Diharapkan publikasi ISC di masa mendatang dapat dilakukan lebih baik lagi. Tentunya, agar dapat mendorong mahasiswa Unpar lainnya untuk turut terlibat aktif. “Baik sebagai panitia maupun local participant,” pungkasnya.